Bermula di pertengahan 2013 beberapa komunitas peduli sejarah dan budaya di luar Jakarta mengeluh kepada saya di Facebook tentang kesulitan memperoleh buku-buku dimaksud. Begitu pula sejumlah guru dan dosen. “Saya perlu untuk menambah wawasan,” kata seorang dosen. Saya segera menjawab spontan, “Nanti kalau saya punya buku dobel saya kirim”. Sejak itulah saya mulai mengirimi mereka sejumlah buku.
Terus terang memperoleh buku-buku tentang sejarah dan budaya di Jakarta cukup mudah. Saya hanya mendatangi berbagai direktorat yang ada di lingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan. Lokasinya di kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu saya mendatangi museum-museum pemerintah. Kebetulan saya kenal banyak orang di instansi-instansi tersebut. Jadi tidak ada birokrasi yang berbelit. Cukup menandatangani tanda terima saja.
Berbagai instansi memang banyak menerbitkan publikasi. Publikasi-publikasi tersebut bisa diperoleh secara gratis, asalkan kita datang langsung. Maklum buku-buku APBN dan APBD memang tidak diperjualbelikan. Semuanya ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Sayang mereka tidak punya anggaran pengiriman, kecuali untuk instansi tertentu seperti perpustakaan daerah, perpustakaan perguruan tinggi, dan instansi terkait. Nah inilah kesulitan teman-teman luar Jakarta yang saya coba fasilitasi.
KUBU dan GEMAR
Sejak itulah saya mulai mengirimkan buku kepada teman-teman Facebook. Pada awalnya saya mengirimkan setiap 2-3 bulan. Beratnya bisa 3-4 kilogram setiap kali kirim. Ongkos kirim saya tanggung dengan prinsip kepedulian sosial. Ternyata semakin hari semakin banyak masyarakat daerah yang memerlukan buku-buku sejarah dan budaya. Bayangkan berapa banyak biaya yang mereka keluarkan seandainya datang ke Jakarta. Ongkos darat saja cukup besar, belum lagi untuk akomodasi dan makan.
Maka saya mengupayakan sedikit demi sedikit lewat KUBU atau kuis buku. Saya ajukan pertanyaan yang sederhana, lalu saya undi mereka yang menjawab benar. Jumlah hadiah tergantung buku yang saya dapat. Kadang satu, kadang lebih dari satu. Sekali lagi, mereka tidak mengeluarkan biaya apa pun karena ongkos kirim saya yang tanggung. Peminat kuis cukup banyak. Mereka seakan lapar buku. Namun apa daya, kemampuan saya mengeluarkan dana untuk ongkos kirim sangat terbatas. Jadi yah semaksimal itulah apa yang bisa saya berikan kepada mereka.
Diluar itu saya menyelenggarakan GEMAR atau Gerakan Menulis Arkeologi. Saya hanya berusaha agar mahasiswa arkeologi dan lulusan arkeologi yang masih yunior bisa menulis populer. Selama ini memang menulis populer merupakan kelemahan utama. Jangankan untuk lulusan yunior, arkeolog senior pun boleh dibilang banyak yang tidak bisa menulis populer. Meskipun demikian ada juga yang memiliki blog pribadi.
Ternyata peminat Gemar dari kalangan arkeologi sangat sedikit. Yang justru antusias dari kalangan pendidikan sejarah dan sejarah. Entah mengapa kalangan arkeologi kurang mampu menulis populer.
Selain Gemar, saya juga membuat GEMAS (Gerakan Menulis Sejarah). Berbeda dengan Gemar, peminat Gemas sangat langka. Mungkin lebih tertarik kepada arkeologi karena ada bendanya.
Peminat Kubu dan Gemar dari berbagai individu di Nusantara. Dengan demikian saya sering meminta buku. Memang saya harus mengeluarkan dana tambahan untuk ongkos taksi. Tapi yah sudahlah. Untuk mencerdaskan bangsa, kita jangan berhitung untung rugi.
Hari Buku Nasional