Terbayangkah Anda kalau para pakar epigrafi membaca prasasti kuno yang aksara-aksaranya tertera pada batu dan berjalan melingkar? Mungkin rada pusing, njlimet, atau ada rasa sedikit aneh. Membaca prasasti memang tidak mudah. Hal ini karena prasasti ditulis atau dipahat pada batu dengan tulisan ureg-ureg yang umumnya tidak dipahami oleh masyarakat masa sekarang.
Aksara dan bahasa pada prasasti umumnya termasuk bahasa mati. Artinya, pada saat ini bahasa-bahasa tersebut tidak digunakan lagi. Misalnya saja aksara dan bahasa Jawa Kuno, Sunda Kuno, Melayu Kuno, dan Bali Kuno. Prasasti tertua yang ditemukan di Indonesia berasal dari masa abad ke-5 Masehi. Umumnya prasasti-prasasti di Indonesia berasal dari masa abad ke-9 hingga ke-10. Meskipun demikian, ada yang lebih muda dari itu. Misalnya prasasti bertarikh abad ke-14 atau ke-15.
Membaca prasasti pada batu yang datar saja susah bukan main. Apalagi jika prasasti itu berbentuk bundar. Pasti ada kerepotan. Epigraf harus membacanya memutar atau berkeliling. Dengan demikian akan timbul dua kali pusing: pusing membacanya dan pusing menafsirkannya.
Abklats
Sepanjang pengalaman, banyak prasasti ketika ditemukan masih memiliki bentuk fisik yang baik. Tentu karena batunya berkualitas baik. Aksara-aksara kuno pada sebagian prasasti masih jelas terbaca. Keadaan seperti itu tentu saja sangat menguntungkan para epigraf.
Di luar batu-batu berukuran besar dan berbentuk melingkar, para epigraf akan relatif lebih mudah jika harus membaca prasasti logam. Prasasti logam rata-rata berbentuk kecil dan ringan. Jadi prasasti logam mudah dibawa-bawa. Begitu pula untuk membacanya. Pada masa kini cukup difoto dengan resolusi tinggi. Setelah itu dimasukkan ke dalam komputer. Selanjutnya prasasti tersebut dibaca lewat proyektor.
Kendala seorang epigraf terjadi bila mereka mendapatkan prasasti batu yang berat, besar, dipahatkan pada batu tunggal (monolit), dan masih berada di tempat aslinya (misalnya di tengah hutan, di atas bukit, dan di lereng gunung). Maka untuk memudahkan kerja, biasanya para epigraf membuat rekaman prasasti dalam bentuk foto. Karena foto dinilai terlalu kecil, sering pula dibuat abklats.
Abklats adalah prasasti cetakan yang terbuat dari kertas singkong atau kertas roti. Bahkan sering disebut lateks. Cetakan abklats sering dibuat oleh Museum Nasional karena museum tersebut memiliki koleksi prasasti batu yang cukup banyak.
Cara membuat abklats bisa dilihat dari foto berikut. Pertama kali, kertas dibasuh dengan air lalu ditekan-tekan di atas prasasti batu menggunakan sikat. Perlu dilakukan berulang-ulang supaya kertas menjadi agak tebal. Setelah sekian lama akan terbentuk lekukan-lekukan aksara. Aksara-aksara yang timbul itulah yang akan dibaca oleh seorang epigraf.
Selain abklats, para epigraf juga sering membuat faksimili. Kalau abklats bersifat basah, maka faksimili bersifat kering. Cara membuat faksimili adalah menekan-nekan batu di luar huruf dengan tinta hitam, arang, atau pensil. Maka yang tampil adalah permukaan batu di sekitar hurufnya. Hurufnya sendiri jadi berwarna putih.
Untuk menyimpan abklats dan faksimili jelas tidak dibutuhkan tempat atau ruangan besar. Cetakan prasasti itu bisa digulung dan sewaktu-waktu bisa digelar kembali saat dibutuhkan.***