Hasil pembacaan terhadap prasasti, banyak sekali menginformasikan kehidupan masyarakat Indonesia kuno. Menurut penelitian pakar epigrafi, informasi terbanyak adalah mengenai uang administrasi, birokrasi pemerintahan, kehidupan ekonomi, pelaksanaan hukum, keadilan, sistem pembagian kerja, perdagangan, agama, adat-istiadat, kesenian, sengketa tanah, pembuatan bendungan, manipulasi pajak, perjudian, dan pelacuran (Boechari, 1977).
Namun secara umum, bagian terbesar dari prasasti membicarakan masalah sosial politik. Hanya sedikit yang mengupas masalah budaya atau ekonomi, sehingga para epigraf harus bekerja sama dengan para filolog (ahli naskah kuno) untuk melengkapinya.
Perjudian dan pelacuran
Banyak kejadian pada masa sekarang, sebenarnya merupakan kesinambungan dari masa ratusan tahun yang lalu, misalnya tentang perjudian dan pelacuran. Sumber tertua yang menyebutkan kedua hal itu adalah Prasasti Kuti (840 M). Dikatakan bahwa salah satu “petugas penting” milik kerajaan adalah adalah juru jalir (germo atau mucikari). Dia setingkat dengan tuha judi atau juru judi (pengawas perjudian).
Kapan berlangsungnya upacara Kasodo di Gunung Bromo, bisa dilacak dari beberapa prasasti. Prasasti Muncang (944 M) menyebutkan Gunung Bromo dengan ungkapan Sang Hyang Swayambhuwa I Walandit, yaitu tempat para pendeta melakukan persembahan kepada bhatara Swayambhuwa,nama lain dewa Brahma.
Prasasti lainnya, Walandit (1381 M), menyebutkan penduduk Desa Walandit sejak dulu dikenal sebagai pemuja Sang Hyang Gunung Brahma (Gunung Bromo) yang taat. Dikatakan juga pada 9 Kresnapaksa bulan Asada tahun 1405 M para warga Desa Walandit membuat piagam yang berisi perintah Bhatara Hyang Wekas ing Suka, gelar anumerta Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, mengenai status Desa Walandit yang keramat itu. Kemungkinan besar nama kasodo berasal dari kata asada yang kemudian menjadi kasada.
Wayang dan pajak
Mau tahu asal-mula pertunjukan wayang, juga bisa dilacak dari prasasti. Pada Prasasti Sangguran (928 M), misalnya, tertulis kalimat ...ta sira wayang mangaran..., sementara pada Prasasti Alasantan (939 M) tertera...manangap tang rakryan wayang mangaran.... Sementara dari Prasasti Wukayana (angka tahunnya tidak jelas, tapi diketahui dari masa Raja Balitung) dijumpai kalimat...si galigi mawayang buat hyang macarita bimma ya kumara.... Artinya, Si Galigi memainkan wayang untuk penghormatan kepada para dewa dengan mengambil cerita Bimma Kumara (A.S. Wibowo, 1976).
Dewasa ini, masalah yang sedang hangat dibicarakan adalah pajak. Sejak dulu, ternyata penyelewengan pajak sering dilakukan aparat pemerintahan. Informasi yang agak panjang bisa diperoleh dari Prasasti Luitan (901 M). Konon setiap tampah (ukuran tanah waktu itu) tanah penduduk akan dikenai pajak 6 dharana.
Seorang kaya pernah diharuskan membayar 40 ½ tampah x 6 dharana = 243 dharana. Ternyata setelah diprotes dan diadakan pengukuran ulang, luas tanahnya cuma 27 tampah. Kalau tidak teliti, dia akan diakalin 13 ½ tampah x 6 dharana = 81 dharana. Rupanya tampah yang digunakan si petugas pajak nakal itu, berukuran lebih kecil daripada ukuran sesungguhnya. Terang ajatanahnya kelihatan semakin luas.
Namun untuk melaporkan “Gayus dari masa kuno itu’, si wajib pajak harus memberikan “uang administrasi” kepada petugas pengadilan. Meskipun masih dalam skala kecil-kecilan, “mafia peradilan” juga sudah ada sejak zaman dulu. Selain “uang administrasi”, banyak petugas diberitakan meminta “upeti” atau “traktir” kepada warga yang sedang ditimpa masalah.