Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Prasasti yang Amburadul, Pertanda Pengrusakan Simbol Kerajaan oleh Pemenang

Diperbarui: 7 Maret 2017   00:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pecahan prasasti di Museum Nasional (Dokpri)


Sungguh miris menyaksikan beberapa koleksi prasasti batu di Museum Trowulan atau Museum Majapahit di Mojokerto. Batu-batunya pecah di sana-sini, entah apa penyebabnya. Bahkan ada bagian yang hilang, sehingga sulit dibaca secara keseluruhan. Hanya sebagian aksara masih bisa dikenali oleh para epigraf (ahli membaca aksara kuno). Jelas kerugian besar buat kita sekarang untuk memahami sejarah kuno Nusantara. 

Banyak prasasti amburadul juga sejak lama menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta. Artefak-artefak itu terdapat di lorong kiri dan kanan gedung lama. Selain terpotong-potong atau terpecah-pecah, sebagian besar prasasti dalam kondisi aus dan rusak. 

Di antara berbagai koleksi Museum Nasional itu, yang agak baik adalah nasib Prasasti Prapancasarapura dari daerah Surabaya. Ketika ditemukan, bagian atas prasasti sudah tidak ada lagi. Diduga kuat sengaja dipangkas karena patahannya merata. Bisa jadi batu besar tersebut akan dijadikan potongan balok-balok batu yang lebih kecil. Terlihat bagian tulisannya sudah ditandai dengan dua pahatan garis melintang dan membujur sehingga sebagian tulisan menjadi rusak. J.L.A Brandes (1913) pernah mengalihaksarakan prasasti itu, tapi masih tidak lengkap.

Jawa Kuno

Umumnya prasasti merupakan perintah raja dan dituliskan pada bahan yang awet. Dengan demikian, perintah sang raja itu tidak mudah hilang bersama berlalunya waktu.Prasasti banyak dikeluarkan pada masa Jawa Kuno, dari abad ke-9 hingga ke-15 Masehi. Bahan yang digunakan adalah batu (gopala prasasti) dan juga logam (tamra prasasti).

Dibandingkan prasasti batu yang berukuran besar, rata-rata prasasti logam berbentuk relatif kecil sehingga mudah disimpan. Bahkan hurufnya tidak mudah rusak atau aus. Prasasti logam umumnya dipelihara dan dirawat dengan baik oleh ahli waris pemilik prasasti. Banyak prasasti tembaga, misalnya, ditemukan masih dalam keadaan relatif baik. Huruf pada prasasti masih jelas dan mudah terbaca.

Prasasti yang pecah berkeping-keping di Museum Majapahit, Trowulan (Dokpri)

Sebaliknya banyak prasasti batu hurufnya tidak terbaca lagi. Yang ironis, ada prasasti batu yang terpenggal menjadi beberapa bagian, bahkan ada yang pecah berkeping-keping.

Ada berbagai penyebab kerusakan prasasti, antara lain sengaja digodam oleh masyarakat sezamannya. Hal ini dialami Prasasti Pereng (856 M), temuan dari Bukit Ratu Baka. Ketika pertama kali dijumpai, prasasti tersebut sudah dalam keadaan berkeping-keping.  

Kerusakan Aksara

Penyebab kerusakan lain adalah karena batunya lapuk (usang) dan disengaja karena konflik antar kerajaan (perang).  Prasasti-prasasti dari masa raja Airlangga kebanyakan mengalami nasib demikian. Prasasti Truneng (Turun Hyang) dari masa akhir pemerintahan Airlangga, hancur lebur dalam keadaan rebah sehingga sulit dibaca ulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline