Jika Anda melewati jalan raya Yogyakarta – Solo, maka Anda akan menjumpai beberapa candi di sisi jalan, seperti Sari, Kalasan, dan Prambanan. Bisa dipastikan Anda akan mengagumi candi-candi itu karena memang bentuknya hampir utuh. Namun tahukah Anda kenapa candi-candi itu dinamakan demikian?
Candi Sari, memang tidak begitu besar. Namun ornamen-ornamen pada candi itu sangat menarik. Dulu, sewaktu pertama kali ditemukan, banyak orang terkagum-kagum pada batu-batu berukir yang merupakan bagian dari candi. Setelah rekonstruksi candi selesai, mereka mengibaratkannya dengan kemolekan seorang gadis. Maka sebagai ‘penghormatan’ kepada candi tersebut, diberilah nama Candi Sari. Dalam bahasa Jawa ‘sari’ berarti ‘molek’. Entah siapa yang memberi nama itu, mungkin penduduk sekitar candi.
Keberadaan suatu candi sering kali dikaitkan dengan prasasti yang dikeluarkan oleh seorang pejabat atau penguasa. Umumnya prasasti diterbitkan dalam rangka peresmian sebuah bangunan suci. Dulu di sekitar Yogyakarta pernah ditemukan Prasasti Kalasan yang bertarikh 778 Masehi. Isinya menyebutkan bahwa ‘maharaja telah mendirikan bangunan suci untuk dewi Tara. Untuk keperluan pemeliharaannya, maka desa Kalasa dijadikan perdikan (tanah yang dilindungi)’. Karena prasasti tersebut ditemukan di halaman candi, maka para pakar menyesuaikan ‘bangunan suci dewi Tara’ itu dengan Candi Kalasan.
Candi Kalasan, sebagaimana yang dikenal sekarang, terletak di desa Kalibening. Dengan alasan tradisi, oleh penduduk setempat bangunan tersebut juga dinamakan Candi Kalibening. Nah, jangan heran kalau Anda mendengar nama itu. Candi Kalibening identik dengan Candi Kalasan.
Cerita rakyat atau legenda, tidak dimungkiri, banyak mewarnai penamaan candi. Tentu Anda sudah familiar dengan legenda Bandung Bondowoso. Diceritakan bahwa pada suatu hari Raden Bandung Bondowoso berniat mengawini Puteri Loro Jonggrang, anak Prabu Ratuboko, seorang raja yang istananya terletak tidak jauh dari Prambanan.
Namun Loro Jonggrang mengajukan syarat bahwa terlebih dulu Bandung Bondowoso harus dapat membuatkan sebuah istana yang berisi seribu arca dalam waktu semalaman. Bandung Bondowoso pun bekerja keras. Menjelang pagi, hanya tersisa satu arca yang belum selesai.
Loro Jonggrang pun memperdaya Bandung Bondowoso dengan cara membuat ayam berkokok menandakan hari sudah pagi. Dengan kesal Bandung Bondowoso kemudian menenung Loro Jonggrang menjadi sebuah batu. Arca Loro Jonggrang itulah yang dianggap sebagai pelengkap arca yang kurang satu.
Sebenarnya, arca Loro Jonggrang yang menjadi ‘maskot’ Candi Prambanan sekarang, melukiskan Dewi Durga, isteri Dewa Siwa. Arca ini memiliki ukiran yang artistik sehingga menarik perhatian penduduk sekitar. Dari legenda ini muncul pula nama Candi Ratuboko, yang berlokasi beberapa kilometer dari Candi Prambanan.
Karena legenda ini sudah merakyat, maka di mata penduduk setempat nama Loro Jonggrang lebih dikenal daripada nama Prambanan. Sebagai misal, kondektur bis selalu berteriak ’Jonggrang...Jonggrang...’ di tempat perhentian Candi Prambanan. Padahal, para wisatawan lebih memahami nama Prambanan karena terletak di Desa Prambanan dan juga merupakan nama formal dalam peta-peta kepariwisataan. Jadi, Anda jangan ‘terpedaya’ oleh nama Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang. Keduanya merupakan candi yang sama. Ada-ada saja cara orang menamakan candi.
Nama tempat
Kebanyakan candi-candi di Indonesia diberi nama sesuai desa tempat candi itu berlokasi. Hal ini merupakan cara yang lazim sejak puluhan tahun yang lalu. Mungkin Anda pernah mengunjungi Candi Plaosan dan Candi Sambisari. Mudah ditebak, Candi Plaosan terletak di Desa Plaosan dan Candi Sambisari terletak di Desa Sambisari.