Hal yang paling menyesakkan dalam dunia kepurbakalaan Indonesia adalah masih seringnya terjadi perbuatan negatif. Persoalan terbanyak adalah penggalian liar yang diikuti pencurian. Pencurian semakin merajalela seiring tumbuh suburnya kolektor barang antik. Bukan hanya di darat, pencurian benda purbakala terjadi juga di laut. Bahkan benda purbakala yang berada di museum pun, tak luput dari sasaran pencurian.
Banyaknya kasus tersebut jelas menunjukkan benda purbakala memiliki nilai istimewa. Sebutan barang antik atau benda kuno sering diidentikkan dengan harga mahal. Bagi sebagian orang, memang benda kuno merupakan investasi menggiurkan. Dengan memiliki benda kuno maka status sosial yang bersangkutan akan terangkat.
Ironisnya, benda-benda kuno lain dalam bentuk bangunan justru semakin banyak dirobohkan karena dianggap tidak bermakna. Bagi sementara orang, bangunan kuno hanya menyimpan kenangan buruk semasa kolonial. Karena itulah harus disingkirkan secepatnya dan digantikan bangunan modern yang bernilai ekonomi.
Selama bertahun-tahun memang banyak bangunan kuno harus menyerah pada keadaan. Selain ambruk sedikit demi sedikit karena faktor alam dan cuaca, bangunan kuno juga tidak mampu membendung kecepatan pembangunan fisik, terlebih yang berlangsung di kota-kota besar. Padahal ada undang-undang yang mengatur keberadaan bangunan kuno, misalnya Undang-undang Cagar Budaya 2010 yang merupakan perbaikan dari undang-undang sejenis tahun 1992.
Meskipun sudah ada undang-undang, implementasinya belum diterapkan secara tegas. Banyak pelanggar Undang-undang Cagar Budaya masih menghirup udara bebas tanpa sanksi berarti. Pihak penguasa daerah terkesan tidak memahami undang-undang tersebut, sehingga tidak memberikan efek jera.
Persoalannya sekarang mengapa pencurian atau pelecehan terhadap warisan budaya masa lalu masih sulit diberantas? Tidak dimungkiri kawasan atau wilayah yang mengandung benda/bangunan kuno sangat luas. Kawasan itu terbentang dari Sabang hingga Merauke. Apalagi Nusantara pernah mengalami perjalanan budaya sangat panjang, mulai dari masa prasejarah (sebelum dikenalnya sumber tertulis), terus masuk ke masa Hindu-Buddha, hingga masa Islam dan masa kolonial. Dari keempat masa itulah, kita mewarisi banyak sekali warisan benda, belum lagi yang masih tertimbun di dalam tanah.
Sampai kini kita masih mendengar masih banyaknya penemuan benda purbakala oleh masyarakat. Penemuan tidak disengaja memang sering kali terjadi di berbagai daerah. Ada yang paculnya terantuk batu ketika sedang menggali tanah untuk pondasi rumah. Ada yang linggisnya membentur benda keras sewaktu membuat lubang. Bahkan ada benda-benda purbakala yang muncul secara tiba-tiba akibat banjir atau erosi.
Setelah laporan masyarakat inilah, arkeologi melakukan ekskavasi. Arkeologi sendiri jarang sekali menemukan benda-benda purbakala dalam jumlah besar berdasarkan hipotesis atau teori yang mereka kemukakan. Ekskavasi yang dilakukan secara sengaja belum pernah menemukan benda-benda eksotik atau fantastik. Semuanya justru terkuak karena jasa para petani, kuli bangunan, dan penggarap tanah lainnya. Jadi sudah saatnya masyarakat awam diberi pengertian tentang kepurbakalaan.
Arkeologi Publik menyatakan masa lalu itu milik semua orang. Namun bukan berarti setiap orang bebas melakukan pelecehan terhadap peninggalan masa lalu. Masyarakat tidak boleh seenaknya membongkar bangunan kuno. Pemerintah tidak boleh sekenanya memberi izin pembongkaran. Semuanya harus ada aturan main sesuai undang-undang.
Masa kini ada karena ada masa lalu. Bukti-bukti fisik itulah yang harus diselamatkan untuk menjadi kenangan generasi masa kini dan masa mendatang. Semoga tidak ada lagi peninggalan kuno yang bendanya banyak dicuri dan bangunannya banyak dirobohkan demi kepentingan apa pun.
***