Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Menurut Kitab Kuno, Seorang Pemimpin Harus Memiliki Watak Adil Merata Tanpa Pilih Kasih

Diperbarui: 4 Desember 2016   04:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku Mahabharata terbitan Gramedia (Dok. Gramedia)


Di antara berbagai kitab kuno yang sampai kepada kita, ada dua kitab yang dikenal luas, yakni Mahabharata(yudha) dan Ramayana. Kedua kitab itu berasal dari India, ditulis oleh pujangga termashur pada zamannya ribuan tahun yang lalu. Masing-masing  kitab tebalnya berjilid-jilid. Karena itu isinya pun mengenai berbagai hal, seperti filosofi kehidupan, nasehat, dan peristiwa sehari-hari. Kedua kitab kuno itu banyak menyinggung hal yang bersifat universal dan masih memiliki relevansi dengan masa sekarang, sehingga digemari di seluruh dunia.

Salah satu bagian dari Mahabharata yang paling banyak dijadikan panutan  adalah kitab Bhagavad Gita (BG). Sebenarnya isi utama kitab itu adalah percakapan antara Arjuna (sebagai murid) dengan Kresna (sebagai guru). Banyak pesan moral terkandung di dalam kitab itu karena Arjuna dan Kresna banyak menampilkan dialog yang menyentuh hati. Isi BG dipandang penuh dengan hal-hal kebajikan dan keteladanan.

Dialog Arjuna – Kresna itu berlangsung di medan perang Kuruksetra, sebelum terjadi perang besar antara dua keluarga, Pandawa dan Kurawa, untuk memerebutkan takhta kerajaan. Dikisahkan, perang itu terjadi akibat ketidaksediaan pihak Kurawa untuk mengembalikan takhta kerajaan kepada pihak Pandawa.

Sesungguhnya, sebagai sesepuh Kresna sudah mengusahakan perdamaian. Namun usahanya ditolak oleh pihak Kurawa. Pertempuran pun nyaris dimulai. Tapi Arjuna, salah seorang pahlawan Pandawa, malah menolak untuk bertempur dan berniat merelakan dirinya dibantai saja oleh kaum Kurawa tanpa perlawanan.

Arjuna merasa tidak bergairah untuk bertempur, mengingat pihak musuh terdiri atas para saudara, guru, sahabat, dan orang-orang yang dikasihinya. Seketika tanpa sadar, seluruh tubuh Arjuna kaku, mulutnya kelu, senjata terjatuh dari tangannya, kakinya bergetaran, dan pikirannya linglung.

“Aku mendapat firasat buruk dan tak kulihat hal yang baik dalam membunuh sanak saudara di dalam pertempuran. Aku tidak mencari kemenangan, juga tidak mencari kekuasaan tertinggi dan kesenangan-kesenangan duniawi. Jauh lebih baik hidup sengsara di dunia ini daripada membunuh para tetua yang patut dimuliakan itu. Setelah membunuh mereka, tak ada yang kudapatkan selain suka cita bergelimang darah,” kata Arjuna kepada Kresna (Bhagavad-Gita, 2004, hal. 43-48).

Kresna yang menjadi sais kereta perang Arjuna lalu menimpali bahwa bunuh-membunuh itu hanya terjadi di dunia yang semu. Di dalam keadaan yang sebenarnya tidak ada bunuh-membunuh. Tiap kasta pun, kata Kresna, mempunyai tugas masing-masing. Seorang ksatria seperti Arjuna harus berperang. Kalau tidak bersedia berperang, maka hinalah dia.

Arjuna merasa serba salah. Berperang berarti melukai atau membunuh keluarga sendiri. Bahkan sebaliknya, dilukai atau dibunuh keluarga sendiri. Kalau tidak berperang, berarti menghancurkan martabat sendiri.

Kitab Suci

Keberadaan BG semakin populer karena kitab ini merupakan bagian dari Bhismaparwa, jilid keenam dari kitab Mahabharata. Di banyak negara, termasuk negara asalnya India, BG dipuja-puja sebagai kitab yang mengandung makna filosofis tentang kehidupan yang luar biasa. Bahkan BG (arti harfiahnya Nyanyian Dewa atau Nyanyian Suci) dianggap sebagai kitab suci yang kelima bagi umat Hindu setelah Rigveda, Samaveda, Yajurveda, dan Atharmaveda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline