Lihat ke Halaman Asli

Djulianto Susantio

TERVERIFIKASI

Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Inilah Alasan Tercecernya Warisan Arkeologi Indonesia ke Beberapa Negara!

Diperbarui: 27 November 2016   03:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arca Prajnaparamita dari Jawa Timur, kembali dari Belanda pada 1975 (Foto: www.pinterest.com)

Rabu, 23 November 2016 lalu Presiden Joko Widodo atau Jokowi menggelar pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Momen pertemuan itu rupanya dimanfaatkan pemerintah Belanda untuk mengembalikan artefak Nusantara di Belanda kepada Indonesia.

Rutte menjelaskan, ada 1.500 artefak di Museum Nusantara di Kota Delft, yang akan dikembalikan. Sebagai simbol pengembalian, Rutte menyerahkan keris kepada Jokowi.    

Museum Nusantara di Delft ditutup pada 2013. Alasan utamanya karena kesulitan biaya perawatan museum. Sejak saat itu, satu per satu koleksi artefak Indonesia di Museum Nusantara dikembalikan ke pemerintah Indonesia.

Sebenarnya di Belanda ada beberapa museum terpaksa ditutup. Artefak asal Indonesia pun banyak terbengkalai di sana. Namun sayangnya upaya pengembalian sekitar 15.000 artefak cuma omong kosong mereka saja. Bahkan liciknya mereka, cuma artefak yang akan dikembalikan. Sebaliknya, data tentang artefak-artefak itu tidak akan diberikan. Sudah beberapa kali dilakukan negosiasi agar artefak dan data bersama-sama dikembalikan ke Indonesia. Namun hasil negosiasi tetap menemui jalan buntu.

Bagaimana artefak-artefak Nusantara bisa terdampar di Belanda. Mungkin kisah berikut mampu menambah pengetahuan Anda.

Kebijakan ‘mengumpulkan dan membagi’

Salah satu sisi kelam dari masa pendudukan Belanda di Indonesia adalah raibnya warisan-warisan arkeologi dari berbagai wilayah untuk dibawa ke negara mereka.  Koleksi-koleksi tersebut bisa berada di sana karena kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda bersifat divide et impera (memecah belah dan menguasai). Di pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial juga menerapkan kebijakan “mengumpulkan dan membagi”.

Yang dikumpulkan adalah benda-benda arkeologi dan etnografi yang tergolong masterpiece (adikarya) dengan berbagai cara seperti membeli dari penduduk dan mengambil dari berbagai situs dengan berkedok ekspedisi ilmiah. Selain dengan cara damai, sering kali terjadi “perampokan” oleh tentara Belanda. Dalihnya adalah ekspedisi militer ke daerah-daerah yang dianggap membangkang sehingga perlu “dijinakkan”.

Ketika berperang dengan Kerajaan Lombok, sebagai misal, tentara Belanda merampas naskah Nagarakretagama, perhiasan, dan emas dalam jumlah besar. Ketika melebarkan sayap militer di Bali, tentara Belanda merebut perhiasan-perhiasan emas penuh batu delima dan berlian dari Kerajaan Klungkung.

Selanjutnya, atas perintah pimpinan tertinggi di Hindia Belanda, maka semua benda yang diperoleh dengan berbagai cara itu dikirimkan ke Bataviaasch Genootschaap (cikal bakal Museum Nasional) di Jakarta. Dari situ benda-benda tersebut dibagi ke museum-museum di Indonesia dan Belanda untuk diteliti sekaligus dipamerkan.

Kembalidari Leiden

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline