Menurut Dokter Goenawan Mangoenkoesoemo Idealnya Jabatan Pemerintahan Dipegang oleh Orang Berpendidikan, Tidak Berdasarkan Keturunan
Kalau mendengar nama Mangoenkoesoemo, pasti ingatan kita akan tertuju kepada Tjipto Mangoenkoesoemo atau dalam ejaan sekarang Cipto Mangunkusumo. RSCM atau Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sudah dikenal luas di Jakarta. Sebenarnya ada lagi satu nama Mangoenkoesoemo, sayang kurang populer. Dia adalah Goenawan Mangoenkoesoemo atau Gunawan Mangunkusumo. Gunawan adalah adik Cipto. Keduanya sama-sama dokter lulusan STOVIA, Sekolah Kedokteran Bumiputera saat itu.
Kini Gedung STOVIA menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Terletak di Jalan Abdul Rahman Saleh No. 26, Jakarta Pusat, tidak jauh dari RSPAD Gatot Subroto. Di museum itu pula Selasa, 25 Oktober 2016, diselenggarakan diskusi tokoh Goenawan Mangoenkoesoemo dengan narasumber Prof. Djoko Marihandono, sarjana Sastra Perancis yang mengambil doktor bidang Sejarah dan Wasmi Alhaziri, Sejarawan Partikelir lulusan Jurusan Sejarah FSUI.
Goenawan Mangoenkoesoemo tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian organisasi Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada 20 Mei 1908. Memang yang kemudian lebih dikenal adalah Dokter Soetomo. Namun peran penting Goenawan tidak boleh diabaikan. Duet Soetomo-Goenawan mampu menghidupkan organisasi Boedi Oetomo. Apalagi kemudian Goenawan menjadi ipar Soetomo.
Siapakah Goenawan Mangoenkoesoemo? Semoga ringkasan dari makalah Djoko Marihandono dan Wasmi Alhaziri ditambah beberapa sumber lain ini, menjadikan masyarakat umum mengenal sosok Goenawan Mangoenkoesoemo.
Masa kecil Goenawan
Goenawan lahir pada 1888 di Jepara dari pasangan keluarga priyayi. Ia anak ke-3 dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang guru bahasa Melayu di sekolah dasar pribumi di Ambarawa. Goenawan mewarisi jiwa pejuang dari kakeknya, Mangoensastro, seorang abdi Pangeran Diponegoro.
Mangoenkoesoemo menjadi salah satu keluarga yang aktif mengirimkan anak-anaknya untuk mengikuti pendidikan kedokteran di STOVIA, yakni Tjipto, Goenawan, Darmawan, dan Kartono. Mereka tidak hanya menjalankan peran sebagai dokter, tetapi sebagai aktivis pergerakan pada masa kebangkitan nasional.
Goenawan masuk STOVIA pada 10 Januari 1903, setelah menamatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS). Ia dikenal pelajar yang cerdas. Perhatian dan pembelaan Goenawan terhadap penderitaan masyarakat terus berkembang. Awal di STOVIA Goenawan mulai mengkritik kemapanan dalam kalangan priyayi, sehingga membuat priyayi dan pejabat pemerintah Hindia Belanda cemas.
Sejak berumur 15 tahun Goenawan sudah menulis di koran Java Bode. Ia sering mengkritik kebijakan pengangkatan bupati yang sangat diskriminatif. Pada masa itu bupati diangkat berdasarkan faktor keturunan. Menurut Goenawan, idealnya jabatan-jabatan dalam pemerintahan dipegang oleh orang berpendidikan, dengan harapan mereka mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Goenawan mendorong lahirnya kalangan priyayi baru, yaitu priyayi yang tidak berdasarkan keturunan tetapi pendidikan.
Sayang yah pada masa kini Politik Dinasti semakin tumbuh subur. Lihat saja sejumlah pemimpin kita. Suami, isteri, anak, dan menantu ikut-ikutan mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan sebuah dinasti berupaya tetap memimpin suatu daerah, yakni enak (orangtuanya enak jadi bupati, maka anaknya pun harus jadi bupati) dan kesinambungan (orangtuanya mempunyai program, maka anaknya pun harus meneruskan program tersebut). Politik Dinasti tentu saja menyuburkan praktik KKN di tanah air.