Lihat ke Halaman Asli

Menjaga Marwah Presiden Melalui Target 1,36 Quadriliun

Diperbarui: 25 Desember 2016   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Joko Widodo. Elshinta

Pagi ini pagi yang hambar, tak ada yang berbeda. Seperti biasanya, Pakde Karyo bersantai menyeruput es kopi Vietnam sambil mbaca Koran online di tablet 7 inci-nya. Sebagai seorang pedagang, berita-berita ekonomi jadi santapan pagi bagi pakde Karyo. Tapi memasuki bulan kedua tahun 2016 ini sepertinya geliat ekonomi di tanah air sedang stagnan, apalagi berita tentang pajak. Pakde karyo pun heran, padahal bulan depan sudah masuk Maret, bulannya lapor SPT.

Pakde Karyo sedang galau, alasannya sudah hampir 2 bulan dia belum bayar pajak. Sebenarnya bukan Pakde Karyo nggak mau bayar pajak, tapi dia sudah berulang kali datang ke kantor pos  tempat Pakde Karyo biasa mbayar pajak, berkali pula dia ditolak dengan alasan sudah tak bisa lagi membayar pajak di kantor pos, kata pegawai kantor pos sekarang mbayar pajak harus via internet atau atm, namanya EBILLING.

Duh, internet? Untuk urusan nyetel tablet dan hape barunya aja pakde Karyo harus minta tolong Fauzan, remaja tanggung anak pak RT di kampungnya, apalagi disuruh mbayar pajak lewat internet? Pakde Karyo makin pusing.

Kalo udah kayak gini, mau nggak mau Pakde harus minta tolong sama Dulah, anak semata wayangnya yang bekerja sebagai pegawai pajak di pelosok Sulawesi. Sebenarnya Pakde nggak pengen bikin repot anaknya sendiri. Dulu waktu lebaran, anaknya itu sudah ngajarin cara ngisi SPT, cara lapor SPT, juga ngisi SSP buat nyetor pajak di bank. Malah si Dulah nasehatin Pakde Karyo:

“Pak’e, mbayar pajak itu perjuangan kita sebagai warga negara, pendahulu kita udah berjuang lewat perang gerilya, mosok tinggal setor n lapor pajak sendiri aja bapak mesti pake konsultan, kan sayang uangnya. Ingat lho pak, mbayar pajak itu di kantor pos atau bank ya pak, bukan di kantor pajak.”

Tapi mau gimana lagi, mbayar pajak sekarang semakin sulit, sama sulitnya ketika si Dulah ditanya gimana proses permohonan pindahnya ke Klaten agar bisa kumpul dengan Pakde Karyo sekeluarga. Kata Dulah, atasan sudah mengusulkan dirinya untuk pindah ke kampung halaman, tetapi Surat Keputusan urung bisa ditandangani, kabarnya Ditjen Pajak masih belum punya pimpinan resmi.

Nah, kabar dari Dulah ini bikin Pakde Karyo makin bingung. Mosok organisasi seperti Ditjen Pajak masih belum punya pimpinan? Lha terus yang kemaren katanya sempat sakit gara-gara sibuk begadang melototin angka penerimaan saban hari diakhir Desember tahun 2015 yang lalu itu siapa? Trus yang katanya menteri keuangan berhasil mengumpulkan pajak di atas 1000 Triliun itu, Ditjen Pajak dipimpin siapa? Terus yang kemaren menggerakkan seluruh pegawai DJP ngumpulin lebih dari 200 Triliun dalam 2 bulan terakhir tahun 2015 itu siapa? 

“Oh, itu cuman pelaksana tugas pak’e” Dulah menjelaskan. “Pelaksana tugas itu jadi pimpinan DJP cuman sementara sampai nanti pejabat definitif ditetapkan sama Presiden Jokowi. Masalahnya, ada banyak keputusan dan kebijakan yang ndak boleh ditandatangani oleh pelaksana tugas, ya seperti SK pindahku ini lho pak, belum lagi masalah-masalah kebijakan pajak di kantor pusat.”

“Lha kalo gitu, kenapa nggak cepat-cepat ditetapkan gitu loh Dul, katanya targetmu naik lagi tahun ini? Mosok ya pamarentah itu mau jatuh di jurang yang sama. Bukannya tahun 2015 lalu milih Dirjen juga berlarut-larut sampai Februari”.

“Aduh dul dul. Apa mereka nggak pernah denger mbah Einstein dulu bilang: Melakukan hal yang sama berulang-ulang dengan mengharapkan hasil yang berbeda adalah sebuah kegilaan?”

Pakde Karyo kemudian mengenang masa-masa tegang yang diceritakan Dulah bulan November 2015 lalu. Bosnya Dulah mengundurkan diri. Gosipnya, Dirjen Pajak waktu itu menyerah dengan performa penerimaan pajak yang kalo dihitung-hitung cuma mencapai 82%. Tapi, kabar dari intel tetangga pakde Karyo yang kerja di Senayan, mundurnya Dirjen Pajak disebabkan karena tidak tahan dengan tekanan politik dari anggauta dewan yang memaksakan RUU Pengampunan Nasional, padahal waktu itu bosnya Dulah cuma ngusulin tentang RUU Tax Amnesty.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline