Lihat ke Halaman Asli

(Refleksi Melalui : Pesta Seni Budaya “Mahasiswa” Dayak Se- Kalimantan ke XI di Yogyakarta 14- 16 November 2013)

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13837060101228405199

[caption id="attachment_299665" align="alignnone" width="300" caption="Poster PSBDK XI mahasiswa Yogyakarta"][/caption]

JANGAN TAKUT PADA PERBEDAAN

(Refleksi melalui : PESTA SENI BUDAYA “mahasiswa” DAYAK se- KALIMANTAN ke XI di YOGYAKARTA 14- 16 November 2013)

“Jika kau menghamba pada Ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan”.

Kalimat heroik yang juga di gunakan dalam awalan Opini majalah Tempo, 12 Mei 2013 ini berasal dari puisi seorang yang hilang hingga kini. Tulisan ini tak bicara dimana Wiji Thukul kini, atau apa dan bagaimana perlawanannya terhadap Orde baru. Tulisan ini mengutip sebuah semangat. Energi luar biasa dari orang muda untuk bergerak dengan full power sambil terus mengasah kecerdasan lahir dan batin nya.

Kohesi menjadi prasayarat terciptanya groupthink. Kohesi adalah semangat kelompok yang tinggi, sebuah ikatan kedekatan dengan hubungan interpersonal yang akrab, kesetiakawanan, dan perasaan “ke-kita-an” yang sangat dalam (Rakhmat, 2002: 164). Menurut Bettinghaus (1973, dalam Rakhmat, 2002: 164), kohesi kelompok ditandai dengan beberapa gejala, satu di antaranya jika anggota kelompok yang berbeda/menyimpang (devian) akan ditentang keras. Pemimpin atau komunikator akan dengan mudah berhasil memperoleh dukungan kelompok jika gagasannnya sesuai dengan mayoritas anggota kelompok. Sebaliknya, ia akan gagal jika menjadi satu-satunya devian dalam kelompok.

Di kota-kota tujuan studi di Jawa, banyak perhimpunan mahasiswa dari daerah-daerah, pulau tertentu, etnis tertentu, yang berbentuk asrama-asrama daerah (bahkan sampai pada tingkat kabupaten) atau sekadar kelompok-kelompok paguyuban pendatang. Ini sebenarnya menunjukkan adanya fenomena sindrome kelompok (Groupthink Syndrome) yang masih tinggi di Indonesia.

Perkumpulan dengan kategori sosial tertentu juga hidup dimanapun, selama masih terdapat kode yang dapat mereka jadikan kesepakatan dan alasan untuk berkumpul dan berinteraksi. Sekian lama negara ini berdiri diatas politik keberpihakan pada kelompok tertentu dan diskriminasi pada kelompok yang tak memiliki “pembela”. (lihat kasus Tiong Hoa pada era Orde Baru).

Orang muda akhirnya harus berani memberi jalan pada dirinya sendiri, terlepas dari teori dan anggapan apapun. Di Indonesia kekalahan sebuah kelompok dan ketertinggalannya dapat terjadi oleh banyak faktor, namun apapun itu negara memang lalai memberi peluang dan ruang yang sama juga Starting point yang sama dalam menyikapi negara dan mendapatkan cinta negara.

Problem dan bibit separatis yang banyak dicemaskan bisa saja terjadi dan mengakumulasi didalam berbagai jenis kelompok dan syndrome yang terbina. Terbina karena negara abai dan tak juga menjadi pengadil yang mampu memberi rasa nyaman pada setiap kelompok, apakah dia kelompok mayor, terlebih kepada minor.

Dalam rangkaian itulah sesungguhnya acara budaya diperlukan sebagai ruang kosong bagi mahasiswa dan banyak kalangan. Kalangan yang kesehariannya telah terkotak dan terbelenggu oleh agama, ras, politik, Gank, atau apapun yang seolah menjadi warna.

Dalam sebuah opininya, Ignas Kledenmenyebutkan bahwa Orde Baru berperan sangat besar melatih bangsa ini menjadi Pribumi Non Pribumi, Cina Non Cina, Muslim Non Muslim, Pancasilais Non Pancasilais.

Itulah realitas dan rivalitas sunyi (jika harus demikian didefinisikan) banyak kelompok ini terjadi dalam semua lini, apalagi jika dikaitkan dengan konteks beragama. Namun yang paling menarik bagi saya adalah bagaimana pesentuhan serius dan massive ini sebenarnya melahirkan kelompok-kelompok muda yang terkurung dalam sebuah gelas kaca masing-masing. Mereka bisa saling lihat, namun enggan berinteraksi bahkan bersentuhan, baik dalam kehidupan sehari-hari yang semestinya cair, tapi justru setelah mereka menjadi terpelajar dan berilmu.

Fenomena ini sesungguhnya didasari oleh ketakutan-ketakutan yang terus menerus terekam dalam banyak benak anak muda di Kalimantan Barat, bahkan Indonesia pada umumnya. Perkenalan adalah ajang identifikasi dan pintu pemindai yang berbunyi; Siapa kamu, suku apa, dan apa agamamu?

Katakutan ini lah yang (mungkin) memotivasi banyak orang (termasuk kita dan saya) dalam mengawali cara pandang, paradigma, terhadap banyak fenomena hidup termasuk dalam pendidikan dan interaksi dengan individu lain.

Sekolah harus tinggi karena takut tak bisa dapat kerja, Bekerja harus yang bergengsi karena takut gajinya kecil, bergaji dan berpenghasilan normal juga tetap takut tidak menjadi kaya. Mengerjakan tugas karena takut hukuman, membaca karena takut tak paham perkembangan, melihat dan menonton TV karena takut tidak gaul. Berusaha sekeras mungkin untuk punya Blackberry terbaru karena takut tidak up to date dan kurang gaul, bicara dalam bahasa baru dan asing karena takut tersingkir dari peradaban kelas, kampus, sosialita.

“Muaranya tak terlepas dari pendidikanIndonesia yang memproduksi orang-orang yang nantinya menjadi penakut dalam menghadapi kehidupan”.

Pendapat ulama besar Buya Hamka ini, dikemukakan pada tahun delapan puluhan, namun pernyataan ini masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Orientasi pendidikan mestinya tidak sekedar untuk memenuhipasar tenaga kerja, tetapi lebih sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, penanaman nilai-nilai dan pengalaman, pengembangan ketrampilan, dan kepekaan hati nurani.

Ketakutan, rivalitas yang larut dalam kesehariandan pendidikan itu kini menumbuhkan sebuah generasi cerdas, berpendidikan tinggi namun kurang peka dan tipis jiwanya dalam konsep bermasyarakat yang plural.

Pengalaman interaktif generasi tua, didelegasikan kepada generasi berikutnya dengan gamblang. Yang juga akhirnya pun, melahirkan sebuah pengkultusan baru, Rakyat dengan rakyat, rakyat dengan negara, rakyat biru dengan rakyat merah dan hijau. Pribumi dan non pribumi, asli dan tidak asli, Jawa dan non-Jawa, Pancasilais dan non- Pancasilais, minoritas dan mayoritas dan banyak lainnya.

Generasi muda kini disuguhkan sebuah drama panjang soal-soal diatas, dan ditengah persoalan itu pula mereka tumbuh, menjadi terpelajar dan berinteraksi ditengah perbedaan.

Problem ini menarik di kaji dan dipahami mendalam. Sebab kini akses dunia maya berseliweran bebas dan lepas sebagai bagian pendidik non formal baru bagi kita. Sikap yang benar dalam berdialog dan berinteraksi diharapkan lahir oleh sebuah pendewasaan masyarakat yang tidak mengalami ketakutan yang akut.

Indonesia sebagai negara yang multikultur belum bisa disebut menghormati pluralisme utuh, cukup berhenti sampai di sebuah realitas bahwa kita disini terdapat banyak kelompok, berbeda dan kini berada dalam satu lingkaran yang sama.

Sesungguhnya Pemerintah adalah pihak yang selayaknya cerdas membaca dan menyikapi. Karena pemerintah adalah Negara dan negara adalah penyelenggara hukum, aturan, pendidikan dan bertanggung jawab terhadap kinerja dan masa depan generasi berikutnya.

Salah satu sisi paling cair dalam menyambungkan ide-ide dalam mencegah ketakutan itu sesungguhnya adalah kesenian yang juga anak kandung dari budaya di satu tempat. Namun pada bagian ini pun Negara limbung dan seolah tak memilki konsep yang tepat. Negara ikut takut image Indonesia buruk dan udik dimata Internasional, sehingga yang lebih diutamakan adalah mengejar keuntungan, memperkaya manusia (dan belum kaya-kaya), mengeksploitasi alam dan hutan karena takut (lagi) tak semakmur bangsa lain.

Negara lebih memilih menjadi agresor dalam nilai-nilai materi sehingga konsep pendidikan dan kebudayaan yang jernih dan jujur terabaikan, dan hati nurani seorang Profesor sekalipun tak bisa kita percayai begitu saja.

Fakta bahwa banyak guru, pengacara, polisi, jaksa, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang gelarnya berjejer, hidupnya bekecukupan, bahkan sebagai regulator terjun dalam masyarakat danmenjadi ‘mati’, sebab banyak yang tak terlatih bermasyarakat dalam pendidikannya. Hidupnya cenderung mementingkan dirinya sendiri, gelar hanya semata untukharta, hatinya menyerupai batu, tidak mempunyai cita-cita lain selain kesenangan dirinya. Pribadi hedonik, ia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya dan intelektualitasnya kerap kali menimbulkan takutnya yang baru. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki hidup sebenarnya. Silahkan anda data siapa saja dan dari kalangan apa Koruptor itu banyak berasal.

Kalimat-kalimat yang seperti mengawang-awang ditengah carut marut realita hidup. Namun sungguh saat ini orang muda disuguhkan dengan parade kekacauan yang seolah membudaya, festival ketakutan yang tak terjawab. Adat, budaya dan kesenian yang memperhalus budi dan rasa jauh ditinggalkan dan bukan utama bagi negara dalam mempersiapkan sebuah estafet yang baik.

Kebudayaan di daerah hanya diperlakukan sebagai komoditas cepat saji, esensinya ditinggalkan, kearifannya dianggap sekedar dongeng belaka yang tidak realistis. Sehingga fenomena ini seolah biasa, dan lazim. Pemerintah mendidik anak bangsa dengan wajah Panggung, diperankan dalam sebuah karakter pura-pura, yang berbeda dengan realitas sesungguhnya.

Generasi muda Dayak di Indonesia, umumnya yang berada di luar Jawa, bergerilya jauh dari daerah asal demi pendidikan yang lebih baik. Semoga saja semangat Betang Panjang yang menjadi “legenda” pendidikan dasar manusia itu masih mampu digali dan diambil sari patinya. Lalu ketakutan-ketakutan yang terpampang jelas didepan mata menjadi sebuah pembelajaran, bahwa suatu daerah tak akan maju dan berkembang karena dominasi suku dan agama tertentu saja. Bahwa menjadi terpelajar dan cerdas berarti pula mau berdamai dengan masa lalu dan menjadikannya referensi dalam bergaul, berteman, bersaudara untuk sebuah perdamaian yang ideal.

Sebab sungguh ketakutan-ketakutan akan dibayar sangat mahal oleh sebuah generasi. Sebab ketakutan yang tak terkendali membuat seseorang bisa menjadi orang diluar dirinya dalam menyikapi hidup, menilai orang lain bahkan dirinya sendiri. Orang muda Dayak yang multikultur dan Indonesia yang (katanya plural) tak seharusnya terjebak dalam perbudakan ketakutan yang menyesatkan justru setelah menjadi cerdas dan intelek.

Mencoba melihat, mungkin seperti mengawang-awang dan membicarakan mimpi. Tapi mimpipun memberi pembelajaran untuk tidak takut berharap akan terjadi sebuah perbaikan terhadap bangsa melalui generasi mudanya. Harapan membuat kita berani melawan ketakutan untuk siap menjadi Indonesia yang tak kehilangan Ke-Dayakan mu. Menjadi Dayak yang Sangat Bangga pada ke Indonesiaan-mu.

Tabi’.

Yogyakarta, 4 November Mei 2013.

Iwan Djola, tulisan ini  sebelumnya yang diterbitkan majalah alternatif mahasiswa BETANG dan SAPE. Di di modifikasi ulang untuk menandai Pesta Seni Budaya “mahasiswa” Dayak se-Kalimantan di Yogyakarta ke XI 14-16 November 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline