Lihat ke Halaman Asli

djoko

bloger

MK sebagai Benteng Tegaknya Konstitusi dan Demokrasi Kita

Diperbarui: 23 Juli 2023   20:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Tingey Injury Law Firm /Unsplash.

Demokrasi sejatinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu bentuk konkret pengejawantahan demokrasi di negeri ini adalah pemilihan umum langsung untuk memilih pemimpin, baik untuk level nasional maupun untuk level lokal [daerah]. Dalam hal ini, rakyat memilih orang-orang yang mereka percayai untuk menjadi pemimpin mereka. Adalah tugas para pemimpin terpilih untuk kemudian menyuarakan, memikirkan, dan memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat.

Dengan demikian, hasil akhir dari setiap pemilihan umum yang paling ideal adalah berubahnya kehidupan rakyat. Kenapa? Karena, bagaimanapun, rakyat memilih pemimpin mereka dengan harapan mereka bisa mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik berupa meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan.

Indonesia sendiri saat ini menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia di belakang India dan Amerika Serikat. Ditilik dari perjalanan sejarah bangsa, secara garis besar praktik demokrasi di Indonesia paling tidak terbagi ke dalam empat periode.

Pertama, periode demokrasi parlementer [1945-1959]. Periode ini ditandai dengan begitu kuatnya dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada masa ini, kabinet tidak bisa bekerja secara efektif akibat kerap ditentang oleh parlemen. 

Kedua, demokrasi terpimpin [1959-1965]. Periode demokrasi terpimpin ditandai oleh keluarnya apa yang diistilahkan sebagai Dekrit Presiden. Isinya yaitu [1] tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950; [2] berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945; [3] dibubarkannya Konstituante dan [4] pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Ketiga, masa demokrasi Pancasila [1966-1998]. Masa ini sering dijuluki pula sebagai masa Orde Baru [Orba], yang merupakan masa demokrasi konstitusional dimana sistem presidensial demikian menonjol. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangat kuat kedudukannya pada periode ini.

Keempat, periode demokrasi paska reformasi [1998-sekarang]. Masa keemasan demokrasi Pancasila berakhir ketika roda reformasi bergulir tahun 1998. Sejak itu, demokrasi di negeri ini bersandar pada sistem multipartai yang berupaya mewujudkan perimbangan kekuatan antara lembaga negara, pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Demokrasi yang kita jalankan saat initentu saja demokrasi yang berbasis norma-norma konstitusi yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, norma hukum konstitusi menjadi sandaran utama demokrasi di Tanah Air. Untuk menjaga agar demokrasi yang kita jalankan sesuai dengan norma-norma konstitusi, maka kita membutuhkan lembaga penjaga konstitusi. Pada konteks inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia [MKRI] menemui signifikansinya.

Mengutip laman mkri.id, sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide peradilan konstitusional [constitutional court] dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [MPR] pada tahun 2001, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat [2], Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001. 

Lantas, setelah disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Mahkamah Agung [MA] menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline