Pada mulanya ada dua pilihan : Pandemi atau Ekonomi. Memilih penyelamatan ekonomi berarti melonggarkan protokol kesehatan. Berarti pula akan lebih banyak rakyat yang menjadi korban virus corona. Sebaliknya, kalau memilih protokol kesehatan yang ketat berarti mengorbankan perekonomian. Berarti pula akan menimbulkan kesulitan ekonomi serta meningkatkan pengangguran. Pemerintah akhirnya kebingungan. Jadilah kemudian kebijakan yang diambil setengah Pandemi dan setengah Ekonomi. Dan akibat selanjutnya adalah pandemi terus mengambil korban tanpa henti tetapi perekonomian juga terus tersendat-sendat.
Kemudian muncullah sebuah pilihan baru, Pilkada,yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2020 yang akan datang. Sebagian besar golongan masyarakat, terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah, mengusulkan agar Pilkada ditunda mengingat pandemi yang masih berkecamuk. Tetapi pemerintah (termasuk presiden), DPR dan KPU tetap bergeming : Pilkada tetap harus dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan dengan alasan kita tidak tahu sampai kapan Covid-19 ini akan berakhir. Mungkin saja alasan sebenarnya adalah untuk menutupi politik kekerabatan yang menghinggapi pemerintah dan DPR. Mereka berkepentingan agar anaknya, menantunya, keponakannya, dan lain-lain berhasil menjadi kepala daerah sebab mumpung mereka sedang berkuasa.
Padahal, data Covid19.go.id menunjukkan lonjakan dengan kasus baru menjadi 4.176 per hari, kesembuhan 3.470 per hari, angka kematian 124 per hari. Paling tidak pada saat Pilkada 2020 nanti akan melibatkan 106 juta warga di 270 daerah yang memiliki hak pilih plus sekitar 3 juta orang yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada tersebut (Kompas, 28/9/2020).
Berdasarkan pengalaman selama tujuh bulan ini, pemerintah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan kemudian DKI Jaya melonggarkannya dengan istilah PSBB Transisi dengan harapan segera normal kembali, namun yang terjadi adalah Covid-19 terus merajalela.Hal ini terjadi karena masyarakat kurang mematuhinya, karena merasa kebebasannya dibatasi. Sanksi yang diberlakukan pun masih tetap dianggap enteng.
Dengan asumsi data dari Covid19.go.id tersebut diatas, jika Pilkada tidak ditunda, berarti ada selang waktu 70 hari antara hari ini sampai dengan 9 Desember 2020 akan memakan korban minimal 70 x 124 = 8.480 nyawa. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah jika 2 persen saja dari 106 juta peserta Pilkada 2020 ketularan Covid-19 maka jumlah pasien Covid-19 akan bertambah dengan dua juta orang. Sungguh mengerikan ! Bisa saja terjadi sepertii di Italia pada saat pertama kali Covid-19 menyerang yaitu mayat-mayat bergelimpangan di pinggir jalan karena rumah sakit tidak mampu menampungnya apalagi mengobatinya.
Jika hal mengerikan tersebut sampai terjadi, lalu siapakah yang bertanggungjawab? Pasti DPR dan KPU cuci tangan. Pejabat yang paling tinggi di negeri ini adalah presiden, dialah yang pasti ditunjuk. Dan karena dialah yang sebenarnya bisa memutuskan untuk menunda Pilkada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H