Secara mendadak isu pembangunan gedung KPK muncul ke muka publik. Secara demonstratif juga mencuat kabar bahwa anggaran pembangunan gedung tersebut tidak disetujui oleh Komisi III DPR. Padahal rencana anggaran tersebut sudah diajukan sejak tahun 2008.Alasan yang dikemukakan macam-macam. Ada yang menganggap bahwa kinerja KPK tidak sebanding jika diberikan gedung baru, dianggap pemborosan karena masih banyak gedung-gedung eks BPPN yang bisa digunakan oleh KPK
Kalau kita melakukan flashback pada beberapa bulan yang lalu ketika DPR merencanakan pembangunan gedung baru, kita akan memperoleh gambaran yang kontradiktif. Pada saat itu sebagian besar masyarakat menolak pembangunan DPR yang semula dianggarkan sebesar Rp 1,7 trilyun itu karena dianggap berlebihan jika dibandingkan dengan kinerja DPR yang amburadul. Alasan yang sama ini digunakan oleh DPR sebagai justifikasi atas penolakan mereka.
Mungkin ada anggota DPR yang merasa tidak adil. Pada saat mereka ingin membanguin gedung 36 lantai, masyarakat memprotes. Dan ketika anggaran pembangunan gedung KPK "nyangkut" di DPR, masyarakat malah mengumpulkan uang untuk membangun gedung baru tersebut. Hal ini membuiat posisi DPR serba salah. Kalau ditahan terus atau secara tegas ditolak, maka masyarakat akan mengutuk DPR. Sedangkan apabila disetujui, maka ada kesan bahwa DPR melakukannya karena ada tekanan dari masyarakat.
Seharusnya DPR menyadari posisinya. Masyarakat sudah tidak dapat dikelabui lagi. Dukungan masyarakat terhadap KPK mencerminkan bahwa masyarakat lebih menghargai KPK daripada DPR. Masyarakat memandang KPK lebih bermartabat daripada DPR. Tetapi DPR justru menganggap bahwa KPK perlu dikerdilkan supaya korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR tidak dikutik-kutik oleh KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H