Lihat ke Halaman Asli

Doa Terhadap Anak: Berguna Untuk ...

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Orang-orang, terutama orang tua yang mempunyai bayi atau kepada anak-anak yang sedang berulang tahun biasanya mengungkapkan doa dan harapan terhadap si anak untuk masa ke depannya. Begini kira-kira yang lazim mereka mendoakan sang anak: supaya berguna bagi orang tua, bangsa, negara, dan agama.

Adakah yang salah dari pernyataan tersebut?  Sepertinya sih tidak. Mengapa penulis mengangkat pernyataan ini menjadi sebuah isu untuk dibahas? Tentunya ada sesuatu yang menggelitik dari pernyataan tersebut. Letaknya di mana? Kalau pembaca menebak atau menjawab yang terakhir, maka kita mempunyai pemikiran yang sama. Lha kok bisa? Mari kita analisis bersama.

Adalah hal yang wajar kalau kita mendoakan sang anak supaya nanti menjadi seorang yang berguna untuk orang tua, karena mereka wajib membalas budi baik, cinta kasih, dan pengorbanan orang tuanya. Mereka bisa membuat orang tuanya bahagia, dan bila perlu ganti mendampingi dan merawat orang tua mereka ketika sudah berusia senja.

Adalah hal yang wajar kalau kita mendoakan sang anak supaya nanti menjadi seorang yang berguna untuk bangsa dan negara karena di situ akan mendedikasikan diri untuk kemaslahatan orang banyak, menyejahterakan masyarakat, dan membawa nama harum bangsa dan negara.

Namun, ketika seseorang mendoakan anak supaya berguna bagi agamanya (apapun itu), seperti “memasukkan bulu ayam untuk mengorek kotoran telinga”, sesuatu yang menggelitik penulis untuk membahasnya, entah hal ini sudah ada yang pernah mengupas sebelumnya atau tidak. Pertanyaannya adalah: Mengapa harus berguna bagi agama? Bukankah justru harusnya sebaliknya? Menurut penulis, justru, agamalah yang berguna untuk seseorang. Dan jika orang hendak berguna, maka penulis pribadi akan mendoakan semoga sang anak berguna untuk kemuliaan Tuhannya, entah itu Allah, Elohim, Hyang Widhi, Pangeran, atau sebutan lain, apapun kepercayaannya. Lho, kalau ditanya lagi, kok bukan untuk agamanya? Lha, apa untungnya, sekali lagi, bukankah agama yang berguna untuk si anak supaya mengenal dan memuliakan Tuhannya? Ya, memang sudah semestinyalah salah satu tujuan akhir dari agama adalah kemuliaan penciptanya (di samping aspek kemanusiaan). Takutnya, dengan ‘berguna’ bagi agamanya justru akan membelenggu si anak ketika tumbuh dewasa malahan tidak berguna bagi orang yang beragama lain, yang bukan se-agama dengan si anak. Kejadian-kejadian sekarang ini mungkin saja adalah ‘jawaban’ dari doa yang salah tadi, yang mengakibatkan orang ketika dewasa menjadi berpikiran sempit, kerdil, dan terkotak-kotak, intoleran, dan bahkan tertutup.

Penulis yakin ada yang tidak sependapat dengan hal ini, mungkin karena memang orang tersebut benar-benar ingin berguna supaya membuat agamanya besar atau dianut lebih banyak orang, atau mungkin paling absurd  misalnya bahwa agama tersebut memang secara tidak disadarinya telah ‘dituhankan’ sehingga dengan berbuat sesuatu untuk agama maka sama halnya berbuat sesuatu untuk Tuhannya. Atau bahkan mungkin ada yang memang secara sadar mengaku bahwa agama adalah tuhannya, karena kemuliaan agamanya boleh jadi lebih berarti daripada kemuliaan Tuhannya?

Sekadar “mangpi” , alias limang rupiah, dari penulis yang masih belajar berdoa yang benar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline