Lihat ke Halaman Asli

Djodi Budi Sambodo

Freelance Trainer

Sudahkah Mencoba Kopi Lebak?

Diperbarui: 25 Juli 2023   14:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Wikipedia 

Bagi penggemar sejarah khususnya Indonesia, sebelum mengenal Lebak haruslah mengetahui siapa Max Havelaar. Sebuah buku terbitan tahun 1860, buku yang ditulis oleh Multatuli, yang juga dikenal dengan nama Eduard Douwes Dekker (1820-1887). 

Konon buku ini diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru. Tepatnya berbentuk  Novel diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul asli "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" (bahasa Indonesia: "Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda"). 

Dari Novel ini tergambar jelas bahwa ternyata di masa Dekker berada di Lebak, banyak perkebunan kopi di sana. Roman ini ditulis oleh Multatuli hanya dalam tempo sebulan pada 1859 di sebuah losmen di Belgia. Isi Novel lebih menggambarkan kritik sosial dari seorang Multatuli yang terjemahan bahasa latinnya adalah  banyak sudah yang aku derita, terhadap ketidakadilan dan penindasan dari penjajahan kolonial yang bekerja sama dengan pimpinan Bupati masa itu kepada warga Kabupaten Lebak. Novel yang membludak di pasaran dunia, akhirnya diangkat ke layar lebar pada tahun 1976.

Peninggalan dan sejarah yang berkaitan dengan keadaan Lebak di masa silam, jauh sebelum kemerdekaan tersimpan dan terekam jelas dalam sebuah museum Multatuli yang dibuka pada 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Indonesia. Tidak hanya tentang Eduard Douwes Dekker saja, riwayat perkebunan kopi juga dijelaskan di sana.

Bersumber dari koran-jakarta.com, Kongsi Dagang Belanda di Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) abad 17 sudah terlibat perdagangan kopi di Teluk Persia dan Laut Merah. Bibit kopi pertama dibawa VOC dari Malabar, India Selatan, ke Jawa akhir abad 17 dan mulai dibudidayakan awal abad 18.

Kopi tersebut selanjutnya dikembangkan ke berbagai daerah keresidenan seperti Banten, Priangan, Surabaya, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Kedu, Bagelen, Banyumas, Madiun, dan Kediri. Menurut informasi dari Museum Multatuli, produksi kopi terbesar kala itu dari Keresidenan Priangan (Jawa Barat), Kedu (Jawa Tengah), Pasuruan, dan Besuki (Jawa Timur).

Sementara itu, berdasarkan peta tahun 1834, di wilayah Kabupaten Lebak, khususnya Rangkasbitung, menunjukkan beberapa lokasi penting, di antaranya ada tempat pengumpulan kopi (koffie loots) dan gudang kopi (koffie pakhuis). Jadi, Lebak merupakan sentra penghasil kopi yang pernah mengalami masa keemasan.

Dalam mengenang dan mengulangi kejayaan perkopian di Lebak, Pemkab Lebak pernah menyelenggarakan Festival Kopi 14 --19 Desember 2022 yang telah antusias diikuti  oleh banyak pengusaha kopi di Lebak. Produksi kopi Lebak bisa saja berkembang karena didukung lahan luas. Lahan ada di Kecamatan Sobang, Cibeber, Cilograng, Panggarangan, Cigombong, Cilograng, Cihara, Bayah, Cimarga, Muncang, Leuwidamar, Cileles, Sajira, Banjarsari, Gunungkencana, Cijaku, dan Malingping.

Lebak memang sempat menjadi satu wilayah dengan provinsi Jawa Barat, namun pada tanggal 4 Oktober 2000, pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 23 Tahun 2000 secara resmi membentuk Provinsi Banten. Proses penetapan ini dilakukan setelah melalui berbagai tahapan serta perjuangan dari berbagai elemen masyarakat. Untuk menuju ke ibukota Kabupaten Lebak yaitu Rangkasbitung, cukup menggunakan commuter line atau jalur kereta listrik saja. Bagi pecinta kopi, tidak akan lengkap apabila belum mencoba rasanya kopi produksi Lebak. (*)Pondok Aren, Tangsel 25 Juli 2023




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline