Srek....*
Kopi itu pahit mbak, seperti lautan badai yang tak hendak hentikan lajunya, berat. Panjenengan bisa lihat atau baca yang seperti di media masa akhir-akhir ini. Aku tak bisa berkoar-koar lagi, beranjak, berdiri, lalu membisikimu, "Aku kuat, aku kuat mbak, do not worry!"
"Hemh..." Jean menghembuskan nafas keras-keras. Selintas ia lihat di kejauhan tampak kabut makin pekat, seputih kertas surat yang sedang ia baca. Beberapa paragraf yang baru terbaca seperti menyuruhnya untuk segera memberi balasan.
Betul Di, kopinya memang pahit, tulis Jean. Namun bukan berarti tidak enak. Bisa jadi Ia sedang mengajakmu untuk begadang, sejenak menikmati sunyinya dini hari. Bukankah tanpa kopi kau tak bisa melek semalaman? Ingat tidak Di, waktu kutulis surat untuk Mas, bahwa Tuhan belum sempat datang, karena mungkin Ia sedang di perantauan atau di Afrika bercengkerama dengan anak-anak di tepi jalan. Ingat Di?
"Hemh..." Jean menghembus lagi nafasnya keras-keras. Jemarinya menolak untuk terus menulis, walaupun baru satu paragraf yang tersurat. Bagaimana sebenarnya kabarmu Di, pandemi Di? Gumamnya. Sebutir air mata mulai mengintip di pelupuk mata.
"Mau nambah kopinya mbak?"
"Eh, kopi?"
"Iya mbak, sudah habis tuh kopinya mbak," Tunjuk seorang pramusaji.
"Oh iya, iya, boleh, boleh, sama dengan yang ini ya, takaran airnya dikurangi sedikit dan tidak pake gula ya?" Jean setengah tersadar dari lamunan tentang suratnya kepada Di dan Mas. Di luar masih turun hujan rintik-rintik, dingin memeluk, gelap menyapa, dan kabut menanti dengan sabar tanpa banyak tanya.
Dari pojok ruangan terdengar lembut alunan lagu sendu, "There can be miracles when you believe. Though hope is frail, it's hard to kill. Who knows what miracles you can achieve. When you believe, somehow you will. You will when you believe*...." Sebutir air mata jean jatuh, luruh...