Judul: Ordinary coffee
“Aduh kang sakit, sakit,sakit...” teriakku lemah, seperti nyala lilin yang tinggal sedikit, melilit lalu terjepit. Dua bola mata mulai bergerak tak terkendali, bola-bolanya liar berjungkir balik, membuat yang putih merajai kelopak. Setali tiga uang dengan kaki dan tangan, mereka seakan kompak untuk memberontak melawan aku, kepalaku, syarafku, lalubergerak liar, hingga akhirnya...
Prang! Untuk ketiga kalinya gelas kopi ibu tumpah, membasahi biru kain penutup meja kecil di samping meja. Noda-noda tercipta, seperti bukan aku yang mencipta, tetapi iayang meretas ragaku dan menjalankannya agar seolah-olah akulah yang salah, akulah yang gila, sebab itulah kejadian yang ada, yang menjadi bukti atas kehadiranku, polah tingkahku, hasil gerak-gerikku.
Selayang pandang, sejumput maut,kudengar ibu hanya mendengus pelan sambil menatap jauh ke depan,keluar jendela, ke atas langit, tempat bintang-bintang sering kulukis, cakrawala acap kugaris, beburungan belibis, semua hal yangbelum terbalik dan berakhir dengan tidak exist.
“Aduh kang sakit, sakit,sakit...” teriakku lemah, seperti nyala lilin yang tinggal sedikit,melilit lalu terjepit.
“Ahhh...”
Aku tergetar masa lalu, sesaat sebelum bunyi jendela menampar dan membuat sadar akan waktu yang sedang berjalan diatas batu. Ya, hari ini bukan masa itu, hari ini bukan masa lalu, seperti denting cangkir yang sedang beradu dengan senduk, lalu diredam oleh butiran kasar kopi bubuk.
Klinting! Klinting...
“Jadi kau sudah mati mas?”
“Ya... hari ini bukan masa itu,hari ini bukan masa lalu, seperti denting cangkir yang sedang beradu dengan senduk, lalu diredam oleh butiran kasar kopi bubuk,”jawabku
karena hari ini bukan masa itu,