Ada rasa ngeri, mencekam serta sakit hati yang mengalir pada dendam yang pekat ketika dari sebagian bangsa manusia harus menerima perilaku brutal, membabi buta dan tidak manusiawi. Identitas menjadi sesuatu yang begitu sensitif dan rawan untuk dibicarakan dalam ruang sejarah Jerman yang suram, sikap eksklusif ditonjolkan, serta menjadi pertimbangan hidup-mati bagi orang-orang di luar bumi bavaria.
Apa yang menimpa di masa Republik Weimar (1918) sampai si bengis Adolf Hitler dinobatkan menjadi kanselir (1933) telah menyisakan lanskap tertentu dari beberapa irisan-irisan peristiwa yang menyedihkan, hingga saat ini hal itu diabadikan dalam sebuah pavilium besar bernama memori sejarah bangsa manusia.
Tetapi barangkali itulah emosi yang dihempaskan dari sisa-sisa perang besar (Perang Dunia I) yang kalah menyebabkan sepenggal sejarah Jerman menjadi kelam. Situasi buruk dan memanas terus berlangsung oleh sederet konflik yang bergelora, ekonomi ambruk, sosial-politik silang-sengkarut, demokrasi berjalan terseok-seok, sampai pada hari kemudian menyeret kepada nasib nahas Karl Liebknecht dan Rosa Luxemburg yang mati terbujur oleh peluru yang melekat di kepala.
Hal lain yang (menurut saya) menentukan perkara hidup mati dalam konteks sejarah Jerman ialah ketika menyaksikan sebuah film yang berjudul "Europa" (semacam film dokumenter), film yang menceritakan nasib dari seorang pemuda Yahudi yang hidup sebagai anak angkat dalam sebuah keluarga Jerman di masa Nazi, bertahun-tahun menyembunyikan identitas penisnya yang disunat.
Di akhir cerita, dalam pembebasannya yang melegakan, pagi itu Jerman kalah, ia baru dapat kencing secara terbuka di dekat orang lain. Dengan latar itulah usaha Jerman (terutama) untuk menemukan harga diri kembali dengan menempatkan akar kemurnian rasnya sebagai bangsa yang berambut pirang, kulit terang, dan mata biru Arya.
Ide tentang Tubuh
Eropa memang bertaburan pelbagai cerita pasca Perang Dunia, pada sisi-sisi yang lain dari masa itu segenap asumsi berhembus tentang apa saja yang melintas di dalam kehidupan. Salah satu di antaranya adalah "ide tentang tubuh." Tubuh kerap kali dihubungkan dengan kebencian, kebengisan, dan keterisoliran, tetapi itu hanya sisi sebagian yang terdisplay di dalam etalase sejarah, hal lain yang ikut mewarnainya ialah dunia seni lukis sebagai ikhtisar dari sebuah situasi zaman.
Semisal karya-karya George Grosz yang sarkastik, muram, kadang humor. Tetapi nyaris dalam guratan di atas portofolionya banyak tergambar tubuh-tubuh yang rusak, penyok dan tidak sempurna, semisal gambar seorang pria dalam posisi kaki terbuka dengan kemaluan yang terlihat semerawut tidak jelas, gambar sebuah keluarga borjuis dalam keadaan telanjang, kemudian gambar tiga pria yang sedang main kartu sambil duduk di atas tubuh wanita yang sudah dibantai, dan masih banyak lagi karya-karya Grosz yang menampilkan situasi dekaden dalam sebuah pameran di Berlin.
Berbeda halnya ketika Hitler memegang tampuk kekuasaan. Adolf Ziegler yang dibanggakan dalam era Nazi mampu menjungkir-balikkan karya-karya Grosz, Kollwitz, Hubbuch, dan lainnya di era Weimar. Ada rasa baru dalam karya-karya seni lukis di masa Nazi, semenjak Hitler berpidato di Munchen berjudul "zaman baru" yang juga akan "lahir jenis manusia baru", tubuh dalam seni lukis tidak lagi mewakili dari sebuah situasi seperti sebelumnya. Terlihat lebih teratur, disiplin, dan memikat.
Tubuh (dalam seni lukis) adalah proyek yang terselubung, lebih gairah, mengundang nafsu dengan tekstur yang lebih sempurna. Gambar pria lebih stabil dengan gaya pose tanpa busana, gagah, berotot, menunjukkan keindahan persis seperti seni lukis Yunani, sosok-sosok itu seolah berkata "aku lah yang paling gagah".
Intinya, benang merah yang dapat kita tarik dari itu semua ialah tak lain dari klasifikasi atas tubuh manusia. Perbedaan ketegori biologis tidak hanya mempengaruhi pada satu titik saja, tetapi birokrasi dalam pendidikan ikut memainkan peranan di masa Nazi. Edmund Husserl konon juga korban dari sebuah perbedaan kategori biologis yang melatar belakangi ia diusir dari universitas Freiburg. Lantas bagaimana pandangan tentang tubuh di era virtual.?