Ketegangan kembali memuncak, kala dua penguasa trah wangsa Mataram Islam itu duduk di sebuah lokasi yang sama. Tiada keraguan ataupun sepatah kata yang kiranya dapat menggambarkan keheningan suasana tersebut. Kembali mengenang peristiwa 6 tahun sebelum penggambaran suasana tersebut berlangsung, ketika Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman sekaligus mertua dari Raden Mas Said (K.G.P.A.A Mangkunegara I atau Pangeran Samber Nyawa), melakukan pemberontakan terhadap kepemimpinan Sunan Paku Buwana II yang pada akhir masa pemerintahannya itu masih berada dalam belenggu cengkeraman kongsi dagang Belanda (VOC).
Jauh sebelum peristiwa pemberontakan tersebut, bermula ketika Sunan Pakubuwana II (Mataram Kartasura 1726-1742; Surakarta 1745-1749) melahirkan sebuah kesepakatan dengan perwakilan VOC berupa Perjanjian Ponorogo atau yang seringkali diistilahkan sebagai "politik kontrak" pada tahun 1743 (tentunya setelah peristiwa "Geger Pacinan" usai), yang di dalam isi perjanjian tersebut menegaskan bahwasanya pengangkatan seorang patih (Rijksbestuurder) haruslah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari VOC. Demikian pula dengan penobatan para bupati pasisiran. Selain kedua hal tersebut, dalam hal yang kaitannya dengan Pendidikan dan perdagangan keseluruhannya menjadi ranah kuasa kompeni. Tanpa adanya kesepakatan antara para nayaka dan Pangeran Mangkubumi, pada saat itu Sunan Paku Buwana II menyambut baik perjanjian yang telah ditawarkan oleh van Hohendorff, sebagai wakil dari van Imhoff, yang menyulut kekecewaan dan amarah Raden Mas Said.
Adanya gempuran dari pengikut Raden Mas Said membuat Sunan Paku Buwana II menjadi khawatir. Dibuatlah sayembara, barangsiapa yang dapat menaklukan pasukan Pangeran Sambernyawa itu akan dihadiahkan sebidang tanah yang berlokasi di Sukowati. Adapun ialah Pangeran Mangkubumi yang berhasil menaklukan para gerilyawan Raden Mas Said itu, meskipun pada kala itu Ia bersama dengan Martapura berhasil meloloskan diri.
Atas hasutan dari van Hohendorff dan anteknya, Sunan Paku Buwana II berkenan membatalkan hadiah tersebut, sebab kedua tokoh yang dianggap sebagai pemberontak tersebut tidaklah dapat ditangkap. Pembatalan secara sepihak tersebut tentunya menyulut rasa kecewa serta amarah dari Pangeran Mangkubumi. Disamping hal tersebut, Sunan Paku Buwana II yang sudah berusia lanjut dan mengidap sakit, melancarkan bujukan kepada sang Sunan untuk berkenan memberikan kekuasaan Mataram tanpa syarat kepada VOC, yang berakhir dengan penandatanganan dari Sunan Paku Buwana II. Disamping itu, VOC juga menunjuk Pangeran Adipati Anom sebagai putra mahkota dengan menandatangani pernyataan bahwa bumi Mataram merupakan pinjaman dari VOC. Pada tanggal 20 Desember 1749 Sunan Paku Buwana II meninggal dunia, dan diangkatlah Pangeran Adipati Anom bergelar Sri Sunan Paku Buwana III.
Kekecewaan yang semakin menjadi membawa Pangeran Mangkubumi bergabung bersama Raden Mas Said melancarkan serangan perlawanan terhadap VOC yang semakin berkobar, yang tentunya juga memunculkan pertikaian babak baru bagi Sunan Paku Buwana III. Pertikaian antar keluarga kerajaan tersebut tidak terelakkan, hingga taktik perang gerilya yang cukup melelahkan bagi pendukung kedua belah pihak (Sunan Paku Buwana III -- VOC melawan Pangeran Mangkubumi -- Raden Mas Said) selama kurang lebih 6 tahun lamanya (1749-1755) berakhir dengan sebuah kesepakatan damai dalam traktat 'Perjanjian Giyanti' tertanggal 13 Februari 1755, yang berlangsung di Desa Janti, Kelurahan Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.
Perjanjian yang disepakati antara Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi itu berisikan pembagian separuh wilayah kerajaan Mataram, dimana letak Keraton Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berada di sebelah timur Kali Opak, sedang sebelah barat Kali Opak menjadi wilayah kekuasaan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H