Seketika terik matahari menembus rindang pepohonan menyilaukan panca indra. Hangat sinarnya merambat hingga ke sekujur kulit yang tak berbalut, namun telah dirasa tak begitu menyengat. Hilir suara angin yang menggoyangkan dedaunan, bersahutan dengan kicauan berbagai jenis burung dan gesekan batang bambu seakan membawa raga menuju dunia fana. Hanya ada ketentraman dengan sedikit nuansa mencekam yang barangkali dirasakan oleh segelintir pengunjung di Komplek Makam Antaka Pura, Gunung Kelir, Plered, Bantul.
Komplek makam yang terletak di puncak bukit Gunung Kelir dengan ketinggian 99mdpl (meter di atas permukaan laut) itu terbaring 28 nisan yang sudah ada sejak masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I bertahta. Adapun sejumlah nisan tersebut terbagi menjadi 3 kelompok lokasi yang berbeda, namun masih dalam satu komplek yang sama, yaitu terdiri dari 19 buah nisan berada di halaman depan atau sisi selatan, 1 buah nisan berada di halaman sisi utara, dan 8 buah nisan berada di halaman inti atau tengah sisi timur. Sejarah dibalik persemayaman ini tentunya tak lepas dari kisah pribadi tokoh yang dimakamkan pada Komplek Makam Antaka Pura ini.
Merentang waktu lebih dari 370 tahun menuju masa silam, Susuhunan Amangkurat I (1619-1677) terbangun dari mimpinya. Susuhunan keempat yang telah memerintah Kesultanan Mataram Islam sejak tahun 1646 hingga 31 tahun lamanya itu segera memerintah punggawa-mantrinya untuk mencari seorang perempuan cantik jelita yang hadir dalam bunga tidurnya. Air mukanya tampak begitu merona kala mengingat-ingat, begitu terpana dengan keanggunannya. Tak perlu menunggu waktu lama, ada orang yang unjuk atur bahwa perempuan yang dimaksud sudah diketemukan. Perempuan itu tak lain ialah Ratu Mas Malang, putri dari seorang Dalang wayang Gêdhog bernama Ki Wayah, yang telah telah dipersunting oleh Ki Panjang Mas dan mengandung seorang janin laki-laki berusia 2 bulan. Tentunya sang Nata begitu gembira mendengar kabar itu, segera Ia angkat sebagai selir meski mendapatkan penolakan dan pertentangan dari Ki Panjang Mas. Dengan menghiraukan fakta bahwa Ratu Malang telah bersuami, ditempatkan Ia di dalam Keraton Mataram.
Begitu cinta dan kasihnya kepada Ratu Malang, Susuhunan Amangkurat I bahkan mengangkat selir barunya tersebut menjadi Ratu Wetan. Purnama silih berganti, janin yang dikandungnya itu telah lahir ke muka bumi. Begitu sayangnya Susuhunan Amangkurat I ini terhadap bayi yang baru saja menyambut udara segar itu. Pada kesempatan waktu yang lain, Susuhunan Amangkurat memerintahkan para punggawanya untuk memasukkan racun ke dalam sajian makanan yang hendak diberikan kepada Ki Panjang Mas. Siang-malam berganti, Ki Panjang Mas beserta para Wiyaga-nya telah ditemukan tewas, kemudian dimakamkan di puncak bukit Gunung Kelir tersebut.
Ratu Wetan atau Ratu Malang teramat pilu, siang malam hanya kepergian Ki Panjang Mas yang ditangisinya. Tak lama kemudian, Ratu Malang jatuh sakit, lalu meninggal dunia. Susuhunan memerintahkan untuk menguburkan Ratu Malang di puncak bukit Gunung Kelir yang lebih tinggi dari tempat peristirahatan Ki Panjang Mas. Tanah dikeduk, liang terbentuk. Namun hanyalah luapan air yang muncul dari lubang pekuburan tersebut. 7 hari 7 malam lamanya tak berakhir, Susuhunan menunggui jenazah Ratu Malang hingga 'kamar peristirahatan' istrinya itu kering, namun luapan air tak juga kunjung surut. Di akhir hari ke-7 dalam lelap sang Nata, tampak jelas selirnya itu telah mendekap bersama suaminya, Ki Panjang Mas. Segera Susuhunan memerintahkan untuk membaringkan Ratu Malang berada di dalam komplek pemakaman yang sama dengan Ki Panjang Mas, namun terpisah oleh jarak dan sekat susunan bata berbentuk tembok persegi di halaman tengah komplek makam tersebut. Peristiwa itu ditandai dengan sêngkalan angka tahun 1578 (1654 tahun Masehi).
Lebih dari 3,5 abad lamanya, kondisi persemayaman Antaka Pura tersebut masih kokoh berdiri, dengan susunan tembok bata yang bergelombang bak ombak sêgara akibat pergeseran kontur tanah perbukitan. Dengan ulet dan rajin, juru kunci merawat komplek pemakaman tersebut. Tak jarang dengan keramah-tamahannya yang begitu siap dan sigap menyambut kedatangan para tamu peziarah.
Tak jauh dari kompleks pemakaman dengan menapaki jalan-jalan setapak kecil, terdapat sebuah petirtaan bernama Sendang Moyo di bawah pohon tua yang dahulunya merupakan tanah yang disiapkan sebagai griya kalanggêngan bagi Ratu Malang. Tak jarang peziarah selepas mendoakan para leluhur di komplek pemakaman Antaka Pura yang datang menuju tempat ini. Bagi sebagian masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan Jawa, kesempatan memasuki komplek Sendang Moyo itu digunakan untuk ngalap bêrkah panyuwunan saking Gusti. Berjarak 2 meter di sisi selatan Sendang Moyo, tampak sebuah batu persegi panjang berselimut kain mori putih. Berdasarkan penuturan juru kunci, diyakini bahwa batu tersebut dahulunya merupakan sebuah kayon atau tempat penyimpanan wayang milik Ki Panjang Mas. Komplek pemakaman Antaka Pura di puncak bukit Gunung Kelir, yang masuk di dalam wilayah admistratif Kapanewon Plered, Kabupaten Bantul kini telah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).