Sejumlah tokoh terdiri atas politisi dan aktivis dijadikan tersangka oleh polri karena merencanakan makar, yaitu menggulingkan pemerintahan yang syah. \Mereka ditangkap pada Subuh 2 Desember 2016, menjelang aksi damai ummat Islam untuk mendoakan
bangsa dan negara. Kapolri Jenderal Tito menjelaskan kepada DPR pada 5 Desember, langkah itu diambil untuk mengantisipasi para tersangka melakukan provokasi melalui media sosial. Pihak kepolisian menemukan bukti bahwa para tersangka akan memanfaatkan unjuk rasa damai ummat Islam, membelokkan mereka ke gedung DPR/MPR, mendudukinya dan memaksa MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa dengan agenda: kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen dan mengganti presiden/wapres. Sebaliknya Rahmawati Sukarno Puteri yang juga menjadi tersangka, membenarkan memang akan ke gedung DPR/MPR, bukan menduduki, melainkan menyampaikan petisi di halamannya dengan membawa massa sendiri.
Pakar hukum Yusril Izha Mahendra berpendapat, keinginan menyampaikan petisi tidak dapat dikatakan usaha makar karena itu ia menawarkan diri menjadi penasehat hukum para tersangka. Tokoh yang juga berpendapat bahwa himbauan kepada MPR untuk kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen bukan makar adalah mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Kalau begitu, yang perlu diluruskan adalah pengertian makar itu sendiri. Polisi perlu menunjukkan bukti ada perintah atau seruan dari pihak terangka untuk menduduki gedung DPR/MPR. Jadi bukan hanya menyampaikan petisi di depannya seperti dijelaskan Rahmawati.
Bagaimana pun memang tampak adanya keinginan sekelompok orang yang ingin membatalkan amandemen UUD 1945 dengan cara-cara ekstra parlementer. Sebab kalau mereka berjiwa demokratis, seharusnya ditempuh melalui wakil-wakil mereka di DPR.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H