Lihat ke Halaman Asli

Sepotong Kaos, Sejuta Cerita

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada mulanya kecemburuan, lalu ikhtiar. Blitar adalah wilayah tua meski letaknya jauh dari pesisir utara Jawa yang dalam konteks sejarah senantiasa lebih berkembang ketimbang wilayah selatan. Tapi ada Sungai Brantas yang membelah wilayah ini, memanjang dari timur ke barat. Sungai besar selalu jadi jalur transportasi penting di masa lalu. Ia menghubungkan orang-orang dari wilayah pedalaman dengan peradaban di kota-kota pesisir yang seringkali lebih dulu bersentuhan langsung dengan mancanegara. Lalu-lintas gagasan di Blitar, juga peradaban, terbantu oleh sungai. [caption id="attachment_36" align="alignleft" width="250" caption="PRASASTI BALITAR I - Kini tersimpan di pendapa Kabupaten Blitar. foto: DJALOE"][/caption] Pada 5 Agustus 2009 lalu, Blitar berulangtahun ke-685. Ini merujuk hasil pelacakan tim sejarahwan tahun 1976 yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Blitar. Disebutkan, titi mangsa 5 Agustus 1324 itu termaktub dalam Prasasti Balitar I yang mencatat Blitar menjadi daerah swatantra. Kata ini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti daerah yang mengurus rumah tangga sendiri. Di India, ada partai politik bernama Partai Swatantra yang didirikan oleh Chakravarti Rajagopalachari pada Agustus 1959. Pada konteks sekarang, swatantra hampir semakna dengan bebas, independen atau otonom. Kota tua, peradaban tua... Tapi masa lalu Blitar itu terasa sangat jauh karena tidak melimpahnya catatan tentang Blitar tempo doeloe. Ini berbeda sama sekali dengan kota-kota tua lainnya di Nusantara. Istilah tempo doeloe dalam naskah ini merujuk pada periode kolonial, bukan era kerajaan-kerajaan besar. Untuk periode kerajaan, jejak-jejak peradaban tua di Blitar justru masih bertebaran di berbagai tempat. Salah satunya Candi Palah Panataran di Nglegok yang bukan saja tempat pemujaan tapi juga pusat studi intelektual keagamaan. [caption id="attachment_37" align="alignleft" width="250" caption="RADEN WIJAYA - Semula di Blitar, kini di Museum Nasional, Jakarta. foto: wikipedia"][/caption] Contoh lainnya, Candi Simping di Sumberjati yang menyimpan patung perwujudan Raden Wijaya atau Nararya Sanggramawijaya atau Sri Kertarajasa Jayawardhana, pendiri Majapahit pada 1293 hingga lengser tahun 1309. Patung elok itu sekarang tersimpan di Museum Nasional atau populer sebagai Museum Gajah di sebelah barat Tugu Monumen Nasional, Jakarta. Jejak peradaban tua tentang Blitar tidak hanya tertuang dalam bebatuan tapi juga buku. Satu-satunya buku yang terkenal adalah Negarakretagama, sebuah magnum opus dari sarjana-cendikiawan-pujangga-wartawan masa Majapahit, Mpu Prapanca. Kini, salinan kitab itu terpacak di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, disadur oleh Ida I Dewa Gdhe Catra dengan huruf dan bahasa Jawa kuna bentuk kakawin. Kitab ini menceritakan kerajaan Majapahit dari abad XII Masehi sampai abad XIV Masehi. Ada bab yang mengisahkan Hayam Wuruk bersafari ke Candi Palah Panataran pada 1357 Masehi dan 1361 Masehi. Cerita tentang Blitar era kerajaan mewariskan catatan berharga. Ini tentu sangat menarik bagi pelancong yang melihat batu berukir bukan semata karena keindahan bentuknya tetapi juga karena mengetahui latar ceritanya. Kita sebut saja pelancongan semacam itu sebagai pariwisata intelektual.

Kota tua, peradaban tua... [caption id="attachment_38" align="alignleft" width="250" caption="ERA KOLONIAL - Lambang Pemerintah Kotapraja Blitar yang dibentuk Belanda pada 1 April 1906. Semboyannya, Labor Improbus Omnia Vincit. foto: KITLV"][/caption] Tapi begitu masuk periode kolonial, catatan sejarah tentang Blitar seolah tak sebanyak kota-kota lain. Periode tempo doeloe tak seluruhnya nestapa, ada pula yang asyik. Jika dirangkai, kedua kutub itu membentuk semacam mozaik yang indah. Ia bisa menjadi salah satu asupan bergizi untuk pikiran kita. Masalahnya, memori seputar Blitar tempo doeloe lebih banyak terjaga lewat cerita lisan. Dan, cara itu tak awet. Maka, setidaknya sejak lima tahun silam, kami mulai menekuni studi tentang Blitar tempo doeloe dengan mendatangi berbagai perpustakaan dan museum di berbagai kota. Kami memeriksa dokumen-dokumen lama, foto-foto tua dan koran-koran tua terbitan Blitar maupun luar Blitar. Pendekatannya bukan dari disiplin ilmu sejarah yang ketat, melainkan dari sisi penikmat sejarah. Kita anggap saja sebagai lawatan atau silaturahmi intelektual. [caption id="attachment_39" align="alignleft" width="250" caption="ROEMAH INDIES - Milik seorang Eropa di Blitar, berlatar belakang panorama Gunung Kelud, tahun 1915. foto: KITLV "][/caption] Terkadang mendapatkan hasil memuaskan, terkadang sebaliknya. Yang jelas, kami mengerjakannya di luar kehendak dan dana pemerintah daerah. Itu sebabnya, mohon maklum jika masih banyak kekurangan di sana-sini. Tapi kami ingin menjaga semacam zeitgeist, semangat zaman yang menggejala, di kalangan anak muda di berbagai kota. Yakni, semangat menengok masa lalu bukan berdasarkan "sejarah yang ditulis oleh jenderal yang menang". Semangat itu terjaga dengan suasana yang sangat menyenangkan, tanpa perlu berkerut kening. Kami biasa menikmati literatur lama sambil mendengarkan musik beraliran paling keras sekalipun. Sebaliknya, kami biasa membaca literatur mutakhir sambil mendengarkan lagu-lagu dari periode Indies, era kolonial. Tapi bagaimana menghadirkan masa lalu itu supaya terasa dekat? Pada mulanya kecemburuan, lalu ikhtiar... Kecemburuan itu terjawab sudah, terutama sejak terlihat bahwa ternyata Blitar tempo doeloe tak kalah asyik dibanding daerah lain yang sudah industrial pada masanya. Maka, inilah ikhtiar kami untuk menghadirkan Blitar tempo doeloe dalam sepotong kaos. Berpotong-potong kaos berikutnya dari Kaos Tjap DJALOE adalah tanda tjinta dari Blitar untuk anda semua. Belajar juga bisa sambil tetap bergaya, sebaliknya bergaya juga bisa tetap sambil belajar. Sepotong kaos, sejuta cerita...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline