Lihat ke Halaman Asli

Menggapai Atap Jawa

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

jangan meremehkanku,ku sangat ingin sekali naik gunung. Aku tak tahan mendengar kalian bercerita tentang keindahan dan kecantikan gunung yang pernah kalian daki. Aku tak tahan melihat foto-foto indah yang kalian sodorkan padaku dan bau rumput dari bekas ransel kalian. Aku mau melihat sendiri. Aku mau menikmatinya sendiri. Aku mau melakukannya sendiri tanpa mendengarnya, menikmatinya dan menghirupnya dari kalian.?? Stasiun senen , jakarta awal perjalanan kami menuju kota malang dilanjutkan ke tumpang kemudian menaiki jeef dengan jalur sejuk n terjal untuk tiba di ranu pane. menjumpai ranu pane yang berpasir adalah awal pendakian dan perjalanan panjang kami hiruk pikuk para pendaki mencerahkan kami dan doa kami yg secerah langit yang biru cerah, secerah tawa anak-anak desa secerah hati para pendaki saat bersiap-siap untuk terakhir kali doa mohon perlindungan dirapalkan, menjelang tengah hari perjalanan dimulai Berkilo-kilo pasir kami bawa di tubuh dan paru-paru kami, pada ransel-ransel dan keringat kami, desa terakhir berkilo-kilo dibelakang, jembatan merah menanti di depan, sesaat terlintas wajah-wajah yang menanti yang semakin hilang dibalik perbukitan sedikit canda tawa mengisi kembali tabung-tabung semangat kami senja menjemput mataharinya, ranu kumbolo menanti.

Desir angin dari ujung lembah menjemput peluh pada tubuh dinginnya terasa sejuk sampai ke hati yang biru karena rindu cepat-cepat tenda didirikan di sisi danau, riaknya pantulkan sinar mata kami, lalu api unggun dan kopi  panas terhidang diantara hangat hati yang menyatu tak jarang angin menggoyang tenda yang sore tadi kami dirikan dengan gigil tulang gemertak gigi pun turut meramaikan, malam perisitirahatan pertama terasa begitu lama Dingin pagi menggigit sumsum tulang, saat para pendaki mencari sisa sisa bara api di dadanya ranting-ranting kering di bakar nantikan matahari yang menghalau kabut malam, sarapan! Tebing cinta serupa fatamorgana cinta, penuh tipu daya di sebalik keindahan dan harapan berkali-kali kata maki meloncat dari ransel-ransel kami yang penuh sesak, tercecer disana sini Perjalanan di lanjutkan, setelah memaknai nama keparat itu sambil lalu disana sini kabut asap menyesakkan dada, hutan terbakar apinya menyesakkan mata pohon-pohon dan semak semakin hebat terbakar, terbakar juga keyakinan kami keputusan harus diambil saat bayang-bayang ragu jadi hantu gentayangan pada lidah-lidah api menembus asap dan api, sesaat setelah tekad menelan ragu saling bertaut jiwa, sepanjang jalan tiada tertinggal jejak tanpa kenang-kenangan Sepi kalimati di dataran tinggi selandai lapangan bola berpagar pohon cemara hanya angin yang sepanjang hari mencumbu pucuk-pucuk kembang edelweis, turun ke lembah bercabang anak kali yang mati, sunyi menyergap perlahan-lahan. Senja merayap pada tebing-tebing bisu,celahnya mengeluarkan airmata dari mataair lembah peristirahatan terakhir sebelum pendakian puncak Pada malam pendakian puncak di batas hutan arcopodo, satu hati satu tujuan puncak mahameru dituju, disana mimpi kami labuhkan bersama sambut matahari pagi cemoro tunggal sebagai tanda, sesekali juga sebagai tempat menggantung letih bukit pasir menguji kaki dan tekad, mahameru tinggal beberapa langkah lagi fajar terlanjur tinggi saat sampai di puncak, beberapa letupan kawah membayar lelah tanpa kata tanpa airmata hanya doa dan bahagia di puncak mahameru, puncak para dewa,




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline