Sekalipunaku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.
Apa gunanya seseorang mengenyam pendidikan hingga pada taraf pendidikan tinggi? apakah hanya sebatas untuk mencari kerja? atau mendapatkan gelar kehormatan? atau hanya mendapatkan ijazah? Di zaman modern seperti sekarang diharapkan agar setiap mahasiswa sudah terlepas dari paradigma pendidikan di zaman kolonial. Dahulu, dalam kepala setiap anak telah ditanamkan oleh orangtuanya untuk belajar supaya pintar, agar nanti mudah dapat kerja. Pemikiran seperti ini diciptakan oleh penjajah agar anak Indonesia menjadi pekerja bukan pencipta lapangan pekerjaan. Jika setiap mahasiswa masih memiliki pemikiran seperti ini artinya mereka masihlah berada di zaman penjajahan. Esensi pendidikan sesungguhnya bukanlah untuk mendapat ijazah atau mendapat kerja atau bahkan mendapatkan kehormatan, namun tentang menjadi manusia yang kritis, dinamis, cerdas, terampil, dan memiliki budi yang luhur. Keberhasilan pendidikan adalah ketika pelaku pendidikan tersebut mendapat dampak yang baik di akhir proses pembelajarannya dan menemukan kebenaran yang hakiki.
Apa sejatinya nilai esensi dari sebuah kebenaran itu? sebelum kita dapat menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat realita yang terjadi dewasa ini, dari segi pendidikan, bagaimana output pendidikan kita, apakah telah melahirkan manusia manusia yang berbudi luhur? Kita melihat disana sini banyak terjadi penyalah gunaan wewenang oleh kalangan akademisi dan kaum intelektual yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan golongan. Semata-mata kecerdasan yang mereka miliki hanya untuk membodohi masyarakat. Bagaimana kita melihat anggota para elit DPR yang mayoritas diisi oleh kaum intelektual terlibat berbagai dugaan macam kasus korupsi yang saat ini marak diberitakan di setiap media. Dimana letak keluhuran seorang dokter yang tak dapat menolong seorang ibu yang dalam keaadaan kritis hanya dikarenakan belum membayar biaya administrasi? atau seorang penegak hukum yang dengan gagah berani menghukum seorang ibu yang tertangkap mencuri lima liter beras yang dikarenakan anaknya dirumah telah menderita kelaparan, sedangkan diruang lain seoarang koruptor yang telah mencuri uang rakyat dapat dengan mudah menghirup udara segar tanpa jerat hukum. Bukankah hukum berbicara mengenai keadilan? atau memang hukum semata-mata hanya mencari kebenaran menurut undang undang tanpa memperhatikan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat? Dari segi militer, kita dapat melihat di mana-mana terjadi perang, terorisme, banyak orang tak bersalah menjadi korban salah sasaran atas kejahatan tersebut seperti yang terjadi pada peristiwa kapal Mavi Marmara yang mengangkut para aktivis kemanusiaan untuk Gaza yang diserang secara membabi buta oleh tentara Zionis Israel, atau kumpulan mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi menentang kebijakan yang tidak pro rakyat harus berhadapan dengan senjata laras panjang dan perlakuan kasar aparat keamanan negara, atau para pedagang kaki lima yang berusaha menyambung hidup harus mengalami pembongkaran paksa oleh para eksekutor negara tanpa memberi solusi dan jalan keluar yang bijaksana. belum lagi kasus di negeri ini bagaimana ormas-ormas mengatasnamakan agama untuk memberantas kebatilan dengan cara-cara premanisme dan anarkisme, atau jihad atas nama agama yang melahirkan terorisme yang makin mengancam stabilitas dan keamanan nasional, serta merebaknya aliran kepercayaan yang tidak terkontrol dengan baik yang berakibat timbulnya konflik antar kepercayaan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Dalam segi ekonomi, penciptaan kondom yang pada awalnya untuk bertujuan untuk melaksanakan program Keluarga Berencana, fakta yang terjadi hanya makin meningkatkan seks bebas dikalangan remaja. Dari segi budaya, gaya hidup ala kebarat-baratan yang makin menjauhkan manusia akan Tuhan, makin banyaknya anak anak dibawah umur yang mengalami depresi dan tekanan mental akibat tekanan gaya hidup yang semakin tak terkendali serta budaya hedonis dan hura-hura yang makin marak dewasa ini, serta gaya busana yang semakin terbuka yang mungkin saja sewaktu saat akan membawa kita pada awal proses penciptaan manusia. Bagaimana teori hukum ekonomi mengatakan "demi pengeluaran yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya" bukankah hal ini membawa dampak manusia akan semakin tamak dan rakus?
Jika sejatinya seorang dokter adalah sebuah pekerjaan yang begitu mulia, hendaklah ia bekerja dilandasi atas Kasih, jika seorang penegak hukum sejatinya adalah seorang wakil Tuhan
di dunia ini, selayaknyalah ia menerapkan Kasih dalam setiap perkara yang ia tangani, Jika setiap tentara militer yang ada di dunia ini menggunakan rudal-rudal yang berisikan Kasih, tentu tidak akan ada pembantain umat manusia yang begitu keji dan kejam. Jika setiap pemimpin negara di dunia ini saling bertukar Kasih, maka tidak akan ada konflik berkepanjangan yang terjadi seperti dewasa ini. Jika semua ormas berjalan atas dasar kasih, tentu tidak akan ada konflik yang meresahkan kehidupan bermasyarakat dan kehidupan akan berjalan dengan harmoni yang indah.
Pada hakikatnya dengan kecerdasan yang dimilikinya, manusia dapat menciptakan segala macam produk yang dapat membantu memecahkan berbagai masalah dalam kelangsungan hidupnya, manusia dapat menciptakan listrik, menciptakan alat transportasi, menciptakan alat telekomunikasi, menciptakan nuklir, menciptakan pesawat luar angkasa, menciptakan robot, dan menciptakan segala macam penemuan baru yang diawali dari proses pembelajaran akan ilmu pengetahuan, tapi sebesar apapun kecerdasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia tanpa disertai dengan penerapan hukum kasih semua itu akan menjadi kekosongan belaka.
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah KASIH.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H