Lihat ke Halaman Asli

Kualitas Pelayanan dalam Maskapai Penerbangan

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Industri pariwisata saat ini menuju ke arah yang labih baik dengan syarat adanya pemberdayaan internal dan dibukanya peran eksternal, dengan maksud antara inbound dan outbound harus bisa diseimbangkan di mana penerimaan devisa akan terus menanjak ke angka yang signifikan. Tetapi tidak semudah itu untuk bisa menjalankan suatu proses menuju  ke arah yang lebih baik, dikarenakan peran pemerintah dan swasta harus benar-benar berjalan sejalan sesuai dengan permintaan pasar. Kuota dan kualitas dari pelayanan adalah faktor krusial yang bisa mengakibatkan perubahan pasar.

Saya akan menuliskan contoh bagaimana kualitas pelayanan dari maskapai penerbangan bisa merubah konteks persepsi konsumen di mana pasar bisnis khususnya low cost carrier bisa menurun drastis. Cerita yang akan saya tulis merupakan pengalaman pribadi saya pada bulan September tahun 2013, sungguh menarik apabila dikaitkan dengan budaya low cost carrier di Eropa. Sebelum melangkah membaca lebih dalam, low cost carrier diartikan sebagai alat moda transportasi udara yang memaksimalkan angka terbang dengan memangkas beberapa pelayanan seperti bagasi dan makanan minuman saat perjalanan.

Cerita saya mulai dengan membeli tiket Tiger Air Mandala dan Tiger Air melalui internet dengan tujuan CGK – Changi – CGK September 23, 2013 dan kembali ke Jakarta September 26, 2013 dengan booking code O44WFF. Masalah pertama muncul saat akan terbang menuju Changi September 23, 2012 menumpang pesawat RI808 pukul 11:05AM, penerbangan ditunda selama 2.5 jam. Penundaan pertama diumumkan pukul 10:55AM untuk setengah jam dan penundaan kedua pukul 11:05AM selama 2 jam.

Petugas di bandara (Terminal 3) beralasan pesawat rusak dan membutuhkan waktu lebih lama untuk perbaikan oleh karena itu kita harus menunggu pesawat dari Kuala Lumpur. Saya berusaha meminta pengalihan penerbangan karena memiliki connecting ground transport ke Malaka. Petugas di Terminal 3 tidak memiliki kewenangan untuk pengalihan penerbangan dan saya pun meminta untuk berbicara secara langsung dengan pihak Tiger Air Mandala yang pada akhirnya di tolak juga karena pihak maskapai tidak memiliki perwakilannya di bandara. Perlu dicatat berdasar atas Pasal 36 Peraturan Menteri Perhubungan No. 25 tahun 2008 poin b tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, saya berhak meminta untuk dipindahkan ke penerbangan udara niaga berjadwal lainnya. Keterlambatan terbang yang terjadi saat itu apabila melihat Pasal 146 UU Penerbangan tidak termasuk teknis operasional dan juga secara jelas ditulis Pasal 13 ayat 1, 2, dan 3 Permenhub 77/2011 mengenai hal apa yang termasuk faktor cuaca, teknis operasional, dan tidak termasuk teknis operasional. Tolong koreksi saya apabila salah.

Pelayanan konsumen dalam cerita di atas sangatlah minim, pertama pihak kontraktor yang di sewa oleh bandara ataupun maskapai tidak memiliki keterampilan dan pengalaman yang cukup untuk mengatasi keluhan dan isu keterlambatan penerbangan. Tidak adanya manual list dan lemahnya ground management. Di Hongkong, pihak maskapai menempatkan perwakilannya sampai dengan pesawat terakhir untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan untuk bisa lebih pro active dalam melayani konsumen. Hasil yang dicapai bandara Hongkong selalu menduduki peringkat 5 besar dalam bandara terbaik.

Cerita berlanjut dimana lebih dari 5 penumpang termasuk saya berusaha keras untuk bisa terbang karena kepentingan yang mendesak, hal ini bukan dikarenakan kepentingan pribadi semata tetapi kerugian waktu dikarenakan time management yang rendah untuk flight screening oleh pihak Tiger Air Mandala. Saya sangat hargai safety first is a must tetapi tidak adanya preparation dan prevention dalam technological crises di masalah tersebut.

Petugas boarding berusaha menenangkan dengan menjanjikan lunch box yang akan dibagikan pada saat boarding, waktu yang dinanti pun datang pada pukul 1:00PM beserta lunch box yang dijanjikan. Sangat disayangkan, lunch box tersebut tidak layak untuk diberikan kepada penumpang apalagi dikarenakan alasan untuk menenangkan. Lunch box yang sepertinya disediakan oleh salah satu restoran/café depan Starbucks di Terminal 3 tersebut berisi 1 gunduk kecil nasi yang tidak hangat, salad porsi kecil dengan mayonnaise, dan 3 irisan kurus kecil chicken katsu. Mohon maaf saya anggap ini sampah. Saya sangat menghargai makanan dan sangat peduli pelayanan konsumen. Saya tidak akan berbohong dalam hal makanan ataupun pelayanan konsumen karena itu dunia saya. Email pun telah saya kirim kepada Tiger Air/Tiger Air Mandala saat itu juga September 23, 2013.

Pihak maskapai seharusnya dapat memastikan setiap produk atau pelayanan yang akan atau telah disampaikan merupakan produk dan pelayanan terbaik yang bisa diciptakan oleh perusahaan. Dalam kasus ini tidak adanya quality control untuk memastikan hal tersebut.

Sebagai traveler saya berusaha melupakan kejadian tanggal September 23, 2013 dikarenakan saya tidak menginginkan perubahan mood, saya pun berusaha keras untuk menikmati liburan yang sangat singkat di Asia. Namun kejadian tidak mengenakan kembali terjadi saat saya akan terbang kembali pulang ke Jakarta September 26, 2013. Saya dijadwalkan terbang menumpang RI809 pukul 2:15PM dari Changi dan pada akhirnya saya harus menumpang TR 2272 pukul 6:10PM. Saya ditolak check in oleh petugas counter di Changi dengan alasan telat, melewati batas waktu check in 45 menit sebelum terbang. Perlu diketahui saya telah memulai mengantri sebelum 45 menit tersebut dengan antrian yang lumayan panjang hingga pada akhirnya telat 5 menit pada saat tepat di depan counter. 3 counters buka dan tepat pada saat saya akan masuk ke salah satu counter 2 counters tutup. Saya mengetahui ketelatan saya tetapi saya berpikir petugas mengetahui saya telah mengantri dan akan mengijinkan masuk karena pesawat pun belum akan lepas landas sampai 40 menit ke depan. Petugas counter yang menolak saya menyarankan untuk berbicara dengan supervisor dan hasilnya pun nihil setelah panjang lebar beradu argumen saya pun diharuskan membeli tiket baru untuk penerbangan terdekat pukul 6:10PM. Argumen pun di lerai oleh pihak Changi dan permintaan saya untuk berbicara langsung dengan perwakilan Tiger Air di tolak karena tidak adanya perwakilan mereka di Changi. Saya garis bawahi kekesalan saya dalam masalah ini kepada pihak Tiger Air adalah apabila saya telat dan badan saya di luar Changi itu adalah kesalahan saya tetapi dalam hal ini badan saya mengantri untuk check in di dalam airport serta petugas pun mengetahui kalau saya telah mengantri.

Saya membeli tiket untuk penerbangan selanjutnya dan langsung menghubungi Tiger Air Singapore melalui telepon pada saat pesawat RI809 pukul 2:15PM masih berada di Changi. Pelayanan dan tanggapan pihak Tiger Singapore sangat mengecewakan sekali, tidak adanya tindakan pro active atas keluhan saya dan memilih angkat tangan. Saya katakan kepada petugas tersebut ini memalukan dan sangat mengecewakan untuk penerbangan internasional. Saya sarankan Tiger Air belajar kembali time management, crisis management, ground operation management, dan perdalam brand image maskapai anda. Ingat value dari pelayanan yang diberikan oleh Tiger Air/Tiger Air Mandala memiliki korelasi yang signifikan terhadap brand equity dan citra. Saya pun telah menulis surat kepada Tiger Air Singapore melalui pihak Changi pada tanggal September 26, 2013.

Sesampainya di Indonesia saya berusaha menghubungi pihak Tiger Air Mandala dari mulai call centre sampai ke Wisma Soewarna pada tanggal September 27, 2013. Usaha saya untuk menyampaikan keluhan dan meminta pengembalian biaya perjalanan terkesan di lempar-lempar hingga saya putuskan untuk melanjutkan kembali sepulangnya ke Kanada September 28, 2013. September 29, 2013 waktu Kanada saya menghubungi Tiger Air Mandala di terima oleh perwakilan dari bagian komunikasi dan beliau mengatakan akan berusaha untuk mencari keterangan terlebih dahulu.

Melalui kasus ini semoga bisa menjadi pelajaran buat Tiger Air/Tiger Air Mandala dan maskapai lainnya untuk tidak menomor duakan pelayanan konsumen. Saya telah terbang dengan berbagai international low cost carriers dan saya rasa Tiger Air dan Tiger Air Mandala adalah yang terburuk. Ryan Air, Vueling, Jet Blue, West Jet dan maskapai low cost di Eropa dan Amerika mereka tidak pernah menomorduakan pelayanan konsumen karena pasar yang mereka miliki merupakan pasar besar di mana dalam dunia perjalanan wisata word of mouth adalah salah satu kunci sukses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline