Selain bangsa Asing, yang memperkaya perbendaharaan bahasa, khususnya perkamusan Indonesia, adalah suku-suku di Nusantara. Salah satu alasannya bangsa kita amat mengagungkan waktu. Sebelum mengenal jam dan penanggalan, masyarakat Nusantara mengakrabi waktu melalui berteman dengan alam. Ketika menentukan sesuatu, alam dijadikan patokan.
Masyarakat Sunda, misalnya. Dalam 24 jam terselip wanci haneut moyan ( 07.00-08.30), waktu terbaik untuk berjemur, saat mentari mulai menghangati bumi, serta wanci lingsir ngulon ( 13.00), kala surya mulai beranjak ke barat. Yang akrab di telinga wanci burit (senja), waktu mendekati magrib. Orang berpuasa senang ngabuburit.
Baca juga: Berikut Ini 5 Peribahasa Sunda Berisi "Pepeling" agar Hidup Rukun dan Damai
Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (2007) ada lema 'bahari' serapan bahasa Sunda klasik 'baheula, dahulu kala, purba, tua'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) pun tercantum entri 'bahari' dan 'bihari' yang artinya dahulu kala. Namun, entri 'bahari' dan 'bihari' dalam KBBI tidak menunjukkan asal-usulnya.
Berkait waktu baheula atau dahulu kala atawa purba alias tua, urang Sunda menamainya dengan kata bihari. Untuk sekarang, kini, atau kontemporer Sunda menamainya dengan kata ayeuna atau kiwari. Adapun yang akan datang atau nanti Sunda menamainya dengan kata pagto, engk, jaga atau baringsukpagi. Kata-kata tersebut hingga kini masih dipakai oleh sebagian besar masyarakat Sunda, terutama dalam tataran jurnalistik, sastra, dan keilmuan.
Sebelum pintu tol Jagorawi, sebrang Terminal Baranangsiang Bogor, terpampang semboyan dinu kiwari ngancik nu bihari, seja ayeuna sampeureun jaga, yang dialami atau terjadi kini terdapat roh masa silam, yang dilakukan sekarang berbuah masa yang akan datang.
Baca juga: Kendati Satu Pulau, Kenapa Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa Berbeda?
Orang Sunda yang besuk atau menjenguk orang sakit kerap mendo'akan dengan ungkapan 'mugia waluya sabihara-sabihari deui', semoga sembuh seperti semula.
Ada juga pribahasa Sunda bihari ngalingling pasir, kiwari ngalanglang pasar, dahulu mengitari bukit, sekarang memutari pasar. Pasir dalam Sunda sama dengan bukit. Dahulu memanjat bukit, sekarang membentari pasar. Arti lainnya, beda pekerjaan orang tua dan anak.
Di Bandung, tahun 1975 berdiri kelompok teater berbahasa Sunda, Teater Sunda Kiwari (TSK). Kiwari berarti sekarang, kini, atau kontemporer. Maka, pagelaran TSK, meski menggunakan bahasa Sunda, pentas seni yang digelarnya sejak berdiri hingga kini tetap melarapkan cara-cara teater moderen.
Baca juga: Menerapkan Peribahasa Sunda dalam Kehidupan Sehari-hari