Lihat ke Halaman Asli

Kompasiana Cibinong

Kompasiana Cibinong, menulis berita dan cerita dalam bahasa Sunda dan Indonesia

Alun-alun Bandung dan Religiusitas Masyarakat

Diperbarui: 1 Juli 2019   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: humas.bandung.go.id

tah ieu alun-alun
eta jalan dalem kaum
palih ditu cikapundung
mana ari masjid agung?

("Bandung", dalam antologi sajak Nyurup Lambak, 1995)

Alun-alun suatu kota dapat dijadikan patokan maju atau mundurnya peradaban. Pasalnya, alun-alun adalah media terbuka pergumulan pelbagai kebudayaan. Di alun-alun pula kita dapat mengetahui tingkat penghargaan warga akan identitas diri dan kotanya.

Sejak baheula hingga ayeuna, simbol alun-alun tak pernah lepas dari keberadaan pendopo atau gedung pemerintah, pasar, rumah tahanan, dan masjid agung. Gedung-gedung itu bukan hanya fasilitas dan penghias kota, tetapi juga sebagai cermin dan peringatan bagi warga kota agar hati-hati dalam melakoni kehidupan.

Dibandingkan dengan Alun-alun Ujungberung serta alun-alun lainnya di wilayah Priangan, Alun-alun Bandung terasa lebih bergaung. Tentu, salah satu sebabnya Bandung merupakan ibu kota Jawa Barat. Oleh karena itu, banyak warga Jawa Barat merasa belum afdal jadi urang Jawa Barat bila tidak berkunjung ke Alun-alun Bandung.

Sayangnya, keberadaan Alun-alun Bandung kian kehilangan jati dirinya. Pendopo Kota Bandung kiwari hanya digunakan tempat tinggal wali kota, tetapi kegiatan kemasyarakatan dan kebudayaan nyaris tak pernah ada. Penjara Banceuy berubah wajah jadi pusat pertokoan. Padahal, tahun 1930 di salah satu kamar penjara Banceuy, setiap malam Soekarno menulis naskah kecaman kepada pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian disebut "Indonesia Menggugat".

Pengubahan lapangan alun-alun dengan cara dibeton pun turut mengakibatkan dangiang alun-alun Bandung kian berkurang. Warga yang berkunjung ke alun-alun tidak menyatu dengan lemah cai Bandung, sebab kakinya menapak di hamparan beton dan paving block.

Begitu pun dengan Masjid Agung. Pengubahan atap dari bentuk limas bersusun tiga diganti dengan kubah setengah lingkaran, saya pikir, langkah itu tidak memperhatikan kebudayaan setempat. Padahal, Islam tidak mesti melulu berkiblat pada Arab. Islam bisa "disundakan". Dengan begitu, peribahasa Sunda rayagung ka bal nyungcung kurang tepat digunakan. Soalnya, masjid-masjid di Indonesia, terutama di tanah Sunda, sudah mengubah identitas atapnya yang nyungcung menantang langit, diubah dengan bentuk kubah.

Celakanya, perubahan fisik bangunan di alun-alun Bandung berbanding lurus dengan perilaku hidup warga kotanya. Yang berkunjung di alun-alun tidak melulu orang Bandung, namun perubahan pola sikap pengunjung alun-alun amat bergantung kepada tuan rumah. Smah mah kumaha nu boga imah.

Seperti yang tergambar dalam sajak Bandung di atas, begitulah keadaan Bandung sekarang. Sajak sastrawan Deni Ahmad Fajar (DAF) yang ditulis tahun 1994 itu merekam kehidupan di seputar alun-alun Bandung. Dengan susunan bunyi huruf /u/ yang dominan di akhir larik dalam lirik yang lirih, penyajak larung dalam suasana humarurung.

Meski pendek, tergambar dengan jelas letak geografis alun-alun Bandung. Hanya butuh tiga baris: tah ieu alun-alun, eta jalan dalem kaum, palih ditu cikapundung, posisi dan sudut-sudut alun-alun Bandung telah terekam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline