Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Diplomasi Kopi ala Aceh

Diperbarui: 14 Februari 2021   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nangkring Sambil Berdiplomasi Kopi (Dokpri)

Aceh merupakan salah satu dari empat daerah khusus di Indonesia selain DKI Jakarta, Papua dan Papua Barat yang memiliki otonomi khusus dalam mengatur daerahnya. Aceh memiliki keistimewaan tersendiri karena merupakan wilayah Indonesia yang paling pendek masa penjajahan Belanda yaitu hanya 40 tahun saja. Selain itu rakyat Acehlah yang menyokong berdirinya Republik Indonesia saat membeli pesawat RI-001 Seulawah untuk menjual hasil bumi ke luar negeri dalam rangka membiayai perang melawan Belanda pasca kemerdekaan.

Sejak pertama kali menjejakkan kaki di tanah Aceh, terasa sekali nuansa penerapan Syariat Islam di sini. Setiap menjelang Maghrib dan shalat Jumat, pertokoan dan kedai-kedai tutup untuk menghormati waktu shalat tersebut. Apalagi di bulan puasa, seluruh kedai makanan kompak tutup semua hingga selepas Asar menjelang Maghrib. Saat waktu shalat sebagian mobil atau motor yang sedang melintas menepikan kendaraannya, meluangkan waktu untuk shalat berjamaah di masjid.

Provinsi ini juga boleh dibilang minim hiburan. Tidak ada bioskop, karaoke, spa, pusat perbelanjaan besar, apalagi hiburan malam. Dulu sebelum penerapan qanun syariat Islam, pernah ada bioskop buka, namun sejak ditetapkan menjadi daerah khusus pasca reformasi semua bioskop tutup. Satu-satunya hiburan yang menjadi favorit warga Aceh adalah ngopi di kedai hingga larut malam. Kedai kopi nyaris tak pernah sepi dari pelanggan, bahkan di saat pandemi sekalipun.

Di warung kopi, warga tak hanya sekedar minum kopi dan makan mie Aceh saja. Di sinilah sebenarnya tempat melepas penat selepas bekerja seharian penuh. Di sini pulalah tempat bersilaturahmi dengan orang baru, atau tempat bercengkerama dengan sesama rekan seperjuangan. Di warung kopi mereka bisa curhat sepuasnya, melepas amarah yang redam di kantor atau di rumah. Mereka bisa bebas bercerita apa saja, tentang siapa saja, dengan siapa saja di depan meja makan kedai tanpa batasan apapun.

Dengan modal segelas kopi seharga tak sampai 5000 Rupiah, plus cemilan rata-rata seribu Rupiah, atau kalau lapar bisa pesan mie Aceh yang terkenal itu, kita bisa duduk berjam-jam tanpa ada yang berani mengusir bahkan pemiliknya sekalipun. Beberapa kedai bahkan buka hingga 24 jam untuk memanjakan pelanggannya betah duduk manis di kedainya, walaupun rata-rata baru buka sore hari dan tutup menjelang waktu Subuh. Kedai kopi hanya tutup sebentar saat menjelang hingga masuk waktu Maghrib, kemudian kembali buka seperti biasa.

Pelanggannya bermacam-macam, mulai dari anak-anak muda hingga orang-orang tua yang sudah mulai uzur. Herannya, pelanggan kedai kopi tak hanya didominasi kaum pria, bahkan kaum wanita pun ternyata doyan ngopi sambil ngerumpi dengan koleganya selama berjam-jam. Bedanya, tak boleh pasangan bukan muhrim hanya berduaan nangkring di warung kopi, harus ada orang ketiga atau lebih yang menemaninya. Pelanggan wanita juga biasanya tak sampai larut malam, dibatasi hingga pukul sepuluh malam saja.

Segala permasalahan di kantor, di rumah, atau di tempat lain yang tak kunjung reda, biasanya malah bisa diselesaikan secara adat di warung kopi. Pembicaraan atau lobi-lobi yang alot di tempat lain juga menjadi cair di sini. Bahkan sebelum KPK rajin menangkap tangan, di sinilah segala urusan di bawah meja diselesaikan. Itulah sebabnya warung kopi bisa menjadi tempat diplomasi untuk menyelesaikan segala permasalahan yang sulit dilakukan secara formal. Warung kopi menjadi tempat netral bagi kedua belah pihak yang berselisih untuk menyelesaikan urusannya.

Aceh sendiri juga terkenal sebagai penghasil kopi. Kita pasti ingat yang namanya Kopi Gayo, dihasilkan di dataran tinggi Gayo Lues dan di Aceh Tengah. Racikan kopinya sendiri tergolong unik, yaitu disaring beberapa kali melalui selembar kain sebelum disajikan yang disebut kopi saring, walaupun bisa saja memesan kopi tanpa harus disaring. 

Kopinya tidak terlalu kental, namun rasanya lebih pahit dari kopi biasa sehingga harus ditambah susu kental dan gula yang disebut saka dalam bahasa Aceh. Ngopi juga sudah menjadi budaya turun temurun di Aceh. Kalau kita bertandang ke rumah kawan, pasti akan ditawari minum kopi.

So, bagi rekan-rekan yang kebetulan mendapat kesempatan mengunjungi Aceh, jangan lewatkan untuk nangkring di warung kopi. Nikmati sensasi nongkrong yang jauh berbeda dengan daerah lain apalagi di kota-kota besar. Ngopi di kedai tidak sekedar membuang-buang waktu percuma, tapi banyak manfaat yang dihasilkan dari nangkring di warung kopi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline