Alhamdulillah, Pak Presiden baru saja disuntik vaksin perdana Covid-19 di lengan kirinya. Hal ini menjawab tantangan berbagai pihak sekaligus kontroversi siapa yang akan menerima pertama kali vaksin tersebut. Presiden sendiri memang sudah menegaskan sejak sebulan lalu bahwa beliaulah yang akan menerima vaksin pertama untuk memberi teladan agar warga masyarakat lainnya bersedia untuk disuntik vaksin.
Kontroversi vaksin sudah berlangsung lama sejak wabah ini mulai merebak dan kasus terkonfirmasi positif semakin tinggi. Banyak pihak yang meragukan efektivitas vaksin ini, mulai dari materi yang digunakan, waktu uji klinis yang terlalu singkat, hingga aspek halal haramnya. Belum lagi adanya beberapa korban jatuh dalam masa uji coba vaksin, walau tingkat efektivitasnya rata-rata di atas 90%, membuat banyak orang semakin takut untuk menggunakannya.
Saya sendiri tidak akan mengulas kontroversi teknis vaksin tersebut karena sudah banyak dibahas baik di media mainstream maupun medsos. Namun meminjam podcast Deddy Corbuzier dengan Ade Rai beberapa waktu lalu, kita terlalu fokus pada metode, bukan esensi untuk mengakhiri pandemi. Padahal tujuan utama dari berbagai keruwetan ini adalah bagaimana caranya mengakhiri pandemi dan kembali hidup normal seperti sediakala.
Tampaknya presiden bersama gugus tugas terlalu fokus pada pengadaan vaksin, lupa pada esensi bahwa untuk mengakhiri pandemi masyarakat harus dikembalikan pada pola hidup sehat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, bukan semata 3M saja yang hanya sekedar untuk menghindari virus. Pola hidup sehat antara lain meliputi:
Pertama, pola makan yang sehat. Di zaman orde baru dulu dikenal dengan istilah empat sehat lima sempurna, meliputi Nasi, Lauk Pauk, Sayur mayur, Buah Buahan, dan Susu. Daripada uang negara dihabiskan hanya untuk pengadaan vaksin dan alat tes-tes yang efektivitasnya kurang, lebih baik dibelikan makanan yang mengandung empat sehat lima sempurna tersebut. Masyarakat sehat negara kuat dan uang tak terbuang percuma.
Kedua, olahraga cukup paling tidak membiasakan jalan kaki agak jauh atau lari-lari kecil. Hal ini untuk memperkuat otot-otot agar tidak kaku dan lemah saat beraktivitas serta memperlancar sirkulasi darah yang mengantarkan nutrisi ke seluruh tubuh.
Ketiga, istirahat cukup minimal delapan jam sehari tidur. Selama ini kita terlalu fokus sibuk bekerja berburu sesuap berlian, sering lupa istirahat sehingga mudah sekali sakit. Bahkan ketika demam ringan sekalipun masih saja memaksakan kerja. Padahal justru titik kritis penyakit ini ada pada saat demam ringan, yang bila diremehkan akan berakibat fatal karena bisa merusak jaringan dan organ tubuh.
Keempat, keseimbangan antara kerja dan rekreasi. Mens sana in corpore sano, di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Bekerja terus menerus akan membuat stress, sehingga perlu kegiatan rekreasi untuk mengurangi beban kerja yang tinggi. Apalagi dalam masa pandemi ini kita terlalu banyak di rumah walau tetap bekerja, yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit cabin fever dan tubuh menjadi gemuk akibat kurang gerak. Sesekali rekreasi di luar rumah diperlukan untuk memperoleh suasana baru, apalagi bila pergi ke alam terbuka dengan udara segar.
* * * *
Mengapa hal-hal tersebut tidak dikampanyekan besar-besaran oleh satgas, malah terlalu sibuk menyebar baliho 'Tak Kenal Maka Tak Kebal' saja. Presiden sendiri tampak tak berdaya dengan kampanye vaksin yang besar-besaran dan masif di seluruh dunia sehingga tak melihat lagi esensi untuk mengakhiri pandemi. Padahal masyarakat seharusnya diberi pilihan apakah bersedia untuk divaksin atau menggunakan alternatif lain, bukan dipaksa dengan berbagai aturan yang memberatkan.
Saya berharap semoga Bapak Presiden tetap sehat dan tidak ada efek samping dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini penting untuk meyakinkan masyarakat bahwa vaksin tersebut memang aman untuk dipakai, di tengah menurun tajamnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang terlihat tak mampu menangani pandemi ini dengan baik. Tanpa keyakinan masyarakat, apalagi tetap dipaksakan vaksinasi, dapat berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang bisa berujung chaos karena ketakutan yang berlebihan terhadap dampak vaksin.