Negeri ini memang kebanyakan aturan, tapi miskin implementasi. Sedikit-sedikit buat aturan, tiap ada masalah bikin aturan, padahal aturan lama saja belum lagi dilaksanakan dengan benar, apalagi dievaluasi. Ibarat pembangunan, kita ini paling hobi membangun, tapi malas untuk memelihara. Kalau sudah agak rusak, mending hancurkan dan bikin baru lagi, bukannya diperbaiki untuk menghemat anggaran.
Contoh terkini adalah penyusunan RUU HIP untuk memperkuat ideologi Pancasila, padahal dulu pernah ada TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetya Pancakarsa.
Dalam TAP MPR tersebut Pancasila dijabarkan dalam butir-butir yang disebut dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau lebih dikenal dengan singkatan P4.
Di situ sudah jelas butir-butir pengamalan Pancasila yang kalau diterapkan tentunya akan indah sekali negeri ini. Tiap-tiap sila dijabarkan dalam beberapa butir yang jumlahnya mencapai 36 butir dan kemudian berkembang menjadi 45 butir.
Di setiap jenjang pendidikan, mulai dari tingkat SMA hingga perguruan tinggi, dan setiap penerimaan PNS jaman itu dilakukan penataran P4. Penataran ini dimaksudkan agar setiap siswa dan calon PNS mampu memahami dan menghayati serta dapat mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang tertuang dalam 36 butir tersebut.
Ada beberapa pola penataran P4 mulai dari 36, 45, hingga 100 jam pelajaran. Saya sendiri sempat mengalami waktu masuk SMA dan kuliah serta diklat prajab pada masa orde baru dulu. Selain P4 juga disisipkan materi mengenai Wawasan Nusantara seperti yang tertuang dalam TAP MPR No. II/MPR/1983 tentang GBHN.
Baca Juga: Memandang Wabah Corona dari Kacamata Wawasan Nusantara
Sejujurnya, materi yang diajarkan dalam P4 terlalu normatif dan cenderung membosankan. Setiap mau masuk kelas saya selalu mengusahakan duduk di bagian belakang agar tidak terlalu kelihatan dari depan.
Kadang kalau pengajarnya meleng kita yang duduk di belakang pada tertidur lelap sampai lupa kalau sudah selesai materinya. Pengajarnya diambil dari BP7 yang diisi oleh para widyaiswara PNS atau tentara yang diperbantukan sehingga sangat normatif dan kaku dalam menjelaskan materinya.
Sejak zaman reformasi, berbagai aturan di zaman orde baru langsung dipreteli tanpa dikaji terlebih dahulu seperti TAP MPR No. II/MPR/1978 tersebut dengan TAP MPR No. XVIII/MPR/1998. Padahal tidak semua yang berbau orde baru negatif, banyak juga aturan, jika dilaksanakan dengan murni dan konsekuen, hasilnya akan menjadi bagus. Akibatnya memang terasa, banyak anak muda yang tak lagi hafal Pancasila, apalagi memahami, menghayati, hingga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu Presiden Jokowi berupaya untuk menghidupkan kembali ajaran moral Pancasila yang sempat redup dengan mendirikan BPIP. Tugasnya tak jauh beda dengan BP7 yaitu merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila termasuk menyusun standar pendidikan, menyelenggarakan diklat, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila. Namun hingga hari ini keberadaan BPIP masih menjadi tanda tanya karena belum tampak sedikitpun hasil kerja mereka selama ini.