Dua bulan lagi musim haji dimulai, dan kloter pertama seharusnya sudah berangkat pertengahan Juni nanti. Namun sampai hari ini belum ada tanda-tanda Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dibuka untuk perhelatan akbar tahunan ini. Penggunaannya masih terbatas termasuk saat merayakan Idul Fitri kemarin.
Bisa jadi musim haji tahun ini ditiadakan, atau dikurangi kuotanya untuk membatasi kapasitas jemaah yang selama ini berjumlah sekitar 2,5 juta orang tiap tahunnya.
Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, rata-rata usia jemaah haji di atas 50 tahun terutama yang berasal dari luar Arab Saudi dan negeri Timur Tengah lainnya. Zaman saya pergi haji tahun lalu, sekitar 80% dari jamaah Indonesia berusia di atas 50 tahun, 15% di atas 40 tahun, dan hanya 5% di bawah 40 tahun.
Itu pun sudah menunggu antrean rata-rata selama 7-8 tahun yaitu yang mendaftar antara tahun 2011 hingga 2012 awal. Mulai 2012 tengah hingga seterusnya antrean mulai panjang, bahkan sekarang hingga 20 tahun.
Mengingat usia jemaah yang sudah tua, rata-rata mereka membawa komorbid (istilah keren sekarang untuk mendampingi Covid-19) entah itu diabetes, jantung, paru-paru atau pneumonia, darah tinggi, dan sebagainya.
Apalagi di Arab rentan penyakit flu, MERS, dan meningitis sehingga harus disuntik minimal vaksin meningitis, kadang ditambah influenza, untuk mencegah sakit saat melaksanakan ibadah haji. Selain itu setiap jamaah dibekali masker untuk melindungi diri dari debu dan penularan penyakit lewat udara alias aerosol.
Benar saja, sampai di Arab, apalagi setelah menjalani rukun haji yang wajib, para jemaah mulai batuk-batuk, pilek, flu, demam tinggi. Penyakit muncul karena beratnya beban fisik saat melaksanakan ibadah terutama tawaf dan sa'i yang harus berjalan kaki sejauh 5-7 kilometer sekali putaran (Tawaf 7 kali keliling Ka'bah dan Sa'i 7 kali Safa-Marwa).
Belum lagi jarak dari terminal ke area Ka'bah sekitar 3-4 kilometer jauhnya. Jadi untuk menghemat tenaga, kadang para jemaah selesai shalat wajib tidak langsung kembali ke hotel, tapi tirakat di dalam masjid atau cuci mata di mal terdekat.
Karena banyak jamaah yang berusia tua, yang muda terpaksa harus siap sedia mengawal. Bayangkan ketika yang berusia muda harus menopang yang berusia tua, jumlahnya jelas tak sebanding. Kita yang muda kadang harus sering mengalah, menunggu yang tua selesai ibadah, baik tawaf maupun sa'i.
Kadang kalau sudah ada petugas kloter, kami tinggalkan saja mereka, biar diurus petugas tersebut sampai pulang. Apalagi pas lempar jumroh, yang muda merangkap jadi 'tukang sapu' di barisan belakang untuk menjaga para orang tua bila sewaktu-waktu butuh pertolongan.
Untunglah yang sakit jumlahnya tak terlalu banyak sehingga masih bisa ditangani oleh tim medis. Ibadah relatif lancar walau akhirnya pada bertumbangan satu demi satu, tapi karena kami kloter terakhir jadi kewajiban haji sudah selesai semua dilaskanakan sebelum sakit menyerang.