Ini kenangan 9 tahun lalu ketika pertama kali bertugas ke NTT menjelajah Pulau Timor dari Kupang ke Kefa hingga batas Wini. Kebetulan saat itu pas bulan puasa di bulan Agustus pula, jadi cuaca sedang panas-panasnya. Apalagi panasnya Pulau Timor jauh berbeda dengan Jakarta.
Di sini panasnya terik sekali membuat kerongkongan cepat kering. Suhu di sana rata-rata di atas 34 derajat, bahkan pernah hingga 38 derajat celcius dan sudah beberapa bulan tidak turun hujan.
Berpuasa di Pulau Timor sungguh istimewa karena saya berada di lingkungan orang-orang yang hampir semuanya tidak berpuasa. Masjid dan mushola hanya ada di kota seperti Kupang, Soe, dan Kefa, serta beberapa kota kecamatan saja.
Sementara saat blusukan ke desa-desa seperti Susulaku, Napan, Oelbinose, dan desa-desa lainnya saya tak menemukan satu mushola atau masjid di kampung. Untunglah saya selalu bawa sajadah kecil, jadi bisa menumpang shalat di rumah penduduk.
Namun hebatnya, di sini toleransi sangat dijunjung tinggi. Mereka, rekan-rekan kerja saya di sana sangat menghormati orang yang sedang berpuasa.
Saat hendak makan, mereka minta izin dulu untuk makan, dan makannyapun agak menjauh dari kita. Begitu pula ketika sedang dalam perjalanan justru mereka pula yang mengingatkan untuk berhenti sholat saat bertamu ke rumah penduduk.
Saat itu hari Jumat ketika saya sedang blusukan di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Utara. Kebetulan waktu shalat telah masuk tapi kota terdekat Kefamenanu masih sekitar 30 menit perjalanan lagi.
Saya mulai cemas karena di sepanjang jalan tak mendengar suara azan apalagi menemukan masjid. Rasanya tak mungkin mengejar sholat Jumat di Kefa karena kondisi jalan juga tidak terlalu mulus walau masih bisa dilalui dengan kecepatan 60 km per jam.
Dalam perjalanan menuju Kefa mata saya tertumbuk pada papan petunjuk bertuliskan Gua Sta. Maria Bitauni.
"Berhenti pak di depan situ," pinta saya kepada pak supir.
"Ada apa pak?" tanya rekan lokal yang mendampingi saya yang duduk di sebelah supir, sebut saja Frans (bukan nama sebenarnya).