Bersyukurlah manusia yang hidup di era teknologi 4.0 sekarang ini. Semua sudah terhubung melalui jaringan telekomunikasi dan bisa memperoleh informasi apa saja dari internet. Mau dipingit di rumah berlama-lama sekalipun tidak akan bosan selama gaji masih dibayar dan tersedia makanan cukup.
Saya membayangkan kalau hal ini terjadi 30 tahun lalu, ketika orang harus menjaga jarak, stay at home, work from home, dan sejenisnya. Betapa membosankannya tinggal di rumah, tidak boleh main kelereng, main petak umpet, apalagi main bola.
Paling mentok main catur atau bulutangkis, itupun tetap harus menjaga jarak antar pemainnya, atau main layangan di lapangan terbuka. Agak modern sedikit bisa main nintendo atau nonton video yang disewakan kasetnya.
Kebayang toko buku dan penyewaan video bakal laris karena orang butuh bacaan dan tontonan untuk mengusir rasa bosan. Sementara televisi masih tunggal dan baru mulai siaran pukul 17.00 WIB (sebelum TV Swasta pertama kali siaran). Itupun lama-lama jadi bosan juga karena acaranya itu-itu saja, kayak Aneka Ria Safari, Kelompencapir, Cerdas Cermat, Dunia Dalam Berita. Kalau hari Minggu siaran agak pagian mulai jam 9 dan bisa nonton si Unyil sama Little House on the Prairie.
Masih mending zaman itu ada radio yang jumlah salurannya cukup banyak. Kita bisa mendengarkan siaran radio yang lumayan variatif dan bisa berganti saluran kalau sudah bosan dengan salah satu radio. Kita juga bisa berinteraksi dengan penyiarnya, bisa milih lagu yang lagi ngetop saat itu seperti Radio Gaga-nya Queen, atau Take on Me -nya AHA. Komputer belum menjadi barang murah sehingga hanya orang tertentu saja yang punya, itupun masih sangat terbatas programnya.
Koran pasti laku karena bakal memberitakan wabah corona setiap harinya. Tukang koran menjadi profesi paling laris karena banyaknya orang penasaran ingin tahu kabar terkini dari wabah mencekam tersebut. Bisa jadi orang berlangganan beberapa koran sekaligus untuk meyakinkan diri kapan wabah bakal berakhir.
Berhubung belum ada gojek gofud dan sebagainya, kita terpaksa harus keluar untuk belanja makanan. Belanja tetap harus ke pasar karena belum ada supermarket seperti sekarang. Kebayang bagaimana caranya social distancing kalau pasar saja masih ramai didatangi pembeli. Naik motor tidak mungkin sendiri karena harus bawa belanjaan banyak, sementara mobil zaman itu masih langka dan hanya beberapa orang saja yang punya. Paling mentok naik mikrolet yang juga harus jaga jarak dengan penumpang lainnya.
Telpon umum pasti ngantri karena masih jarang yang punya telpon rumah. Paling sebel kalau nungguin orang pacaran di telpon umum, ga inget waktu apalagi saat wabah tentu daripada bosan di rumah mending lari ke telpon umum. Kalau telpon umum ngantri terpaksa lari ke wartel, lebih privat walau agak mahal sedikit. Tapi jangan lupa membasuh gagang telpon setelah dipakai pengguna sebelumnya agar tak tertular virus.
Paling sengsara kalau listrik mati, apalagi saat itu belum semua daerah teraliri listrik. Kebayang tiap hari harus menyalakan diesel atau mengisi aki untuk sekedar menonton televisi. Malam hari semakin gelap tanpa penerangan listrik, hanya lilin atau petromax menemani di tengah suasana harus stay at home tak bisa pergi kemana-mana. Rasanya hanya ingin cepat tidur dan bangun di pagi harinya dengan pola hidup yang nyaris sama.
Memang sih, semua ada masanya. Tak mungkin Tuhan menurunkan wabah kalau kita tidak mampu menghadapinya. Jadi tetaplah optimis bahwa semua ini akan segera berlalu. Percayalah dibalik segala kesulitan pasti ada kemudahan di baliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H