Polemik pergantian pejabat kembali mengemuka setelah Kementerian Agama mengangkat Dirjen Bimas Islam sebagai Plt. Dirjen Bimas Katolik yang memasuki masa pensiun bulan Juni 2019 lalu. Kemudian pada bulan Januari 2020 karena pak Dirjen Bimas Islam sakit dan kelebihan beban tugas, jabatan tersebut dialihkan kepada Sekjen Kemenag. Memang hanya plt. alias pelaksana tugas yang sifatnya sementara sambil menanti pejabat definitif, tapi kalau lebih dari setengah tahun namanya sementahun.
Walau sudah lama terjadi, polemik tersebut baru mencuat seminggu terakhir di medsos. Awalnya saya membaca postingan seorang kawan di FB yang kebetulan beragama Katolik menyindir bahwa inilah salah satu bentuk toleransi, namun bagaimana bila terjadi hal sebaliknya, apakah tetap toleran juga? Beragam komentar bersahut-sahutan, namun sebagian besar menjawab tidak bakalan terjadi karena mayoritas.
Saya tidak akan membahas polemik tersebut terlalu dalam karena bisa menimbulkan kesalahan penafsiran. Namun yang akan dibahas adalah persoalan regenerasi dalam organisasi pemerintah yang sering mandek karena pejabat pensiun. Kejadian seperti ini bukan sekali saja terjadi, mungkin sudah puluhan kali jabatan strategis dibiarkan kosong melompong tanpa pengganti. Hanya karena kebetulan menyangkut agama saja maka persoalan tersebut mencuat ke permukaan. Itupun ternyata sudah berlangsung hampir setengah tahun lebih baru ketahuan.
Urusan regenerasi pejabat sering sekali diabaikan oleh para pimpinan tertinggi. Mereka lebih sibuk mengejar proyek atau kegiatan strategis ketimbang mengurusi masalah pergantian pejabat. Padahal sebenarnya bisa ditelusuri siapa saja yang bakal pensiun, apalagi selevel eselon 1 yang jumlahnya sedikit. Kalau regenerasi berjalan normal, seharusnya sudah disiapkan calon penggantinya dan sudah di fit and proper test untuk persiapan penggantian pejabat yang akan pensiun.
Kadang persoalannya sepele, menunggu para pejabat lain setara yang akan pensiun sehingga pelantikannya dilakukan sekaligus, tidak satu persatu. Inilah kadang yang menjadi penghambat, mengapa pelantikan harus dilakukan secara seremonial yang menghadirkan banyak orang. Mengapa tidak langsung saja keluarkan SK lalu dilantik mengisi jabatan yang ditinggalkan tanpa harus menunggu upacara seremonial pengangkatan pejabat lainnya.
Alasan bisa dicari-cari, ada yang pangkatnya belum cukuplah, DUK alias daftar urut kepangkatan yang masih jauh, dan sebagainya. Hal ini justru semakin membuka borok bahwa gap antar generasi terlalu jauh sehingga harus menunggu pangkat cukup baru bisa dilantik. Padahal sebenarnya ada alasan lain yang ditutup-tutupi, misalnya calon pejabat tersebut berseberangan dengan menteri atau pejabat lainnya sehingga dianggap tidak bisa bekerja sama khususnya dalam hal tertentu.
Sistem pengangkatan pejabat di negeri ini memang masih mengandalkan saling kenal dan percaya. Walau sudah pangkat tinggi kalau tidak dikenal tidak bakalan diangkat jadi pejabat. Sementara orang yang dikenal lebih cepat naik walau pangkatnya belum cukup karena lebih dipercaya ketimbang yang pangkatnya lebih tinggi. Padahal sekarang sudah ada profiling pegawai yang bisa dilacak dengan mudah melalui sistem informasi kepegawaian.
Birokrasi kita memang ribet padahal bisa dibuat mudah. Kalau mau dicari sebenarnya ada, tapi itulah, karena benturan kepentingan sehingga stok yang ada tidak dimanfaatkan. Banyak pegawai dengan pangkat tinggi menganggur alias di nonjobkan karena tidak cocok dengan atasannya, padahal ada jabatan kosong yang seharusnya bisa diisi. Sementara orang yang cocok belum sampai pangkatnya sehingga harus menunggu hingga tahunan utnuk mengangkat yang bersangkutan agar tidak diprotes oleh pegawai lainnya.
Kepentingan masih di atas segalanya, termasuk dalam hal mengangkat para pejabat di posisi strategis. Kadang yang pangkatnya belum cukup dipaksakan jadi plt. hingga naik pangkat baru diangkat jadi pejabat definitif, hanya karena kedekatannya dengan pimpinan tertinggi di institusi tersebut atau dekat dengan anggota dewan yang terhormat. Sementara yang pangkatnya sudah melampaui malah dibiarkan menganggur namun masih digaji sehingga hanya menghabiskan anggaran negara.
Padahal hampir separuh anggaran negara digunakan untuk menggaji pegawai termasuk mereka yang menganggur tersebut. Berapa penghematan yang terjadi bila pegawai yang menganggur difungsikan kembali sebagaimana mestinya. Alangkah sayangnya uang negara dihambur-hamburkan hanya untuk memuaskan kepentingan pihak tertentu saja tanpa melihat tujuan yang lebih besar.
Sudah seharusnya Kemenpan dan BKN tegas terhadap hal-hal seperti ini. Jangan biarkan sebuah jabatan dibiarkan kosong melompong tanpa pejabat definitif dalam waktu yang terlalu lama. Berikan batasan maksimal satu atau dua bulan untuk mengangkat pejabat definitif baru agar tidak terjadi kekosongan yang akhirnya menimbulkan polemik seperti kejadian di Kemenag tersebut. Gunakan e-profiling yang sudah dilaksanakan di beberapa kementerian termasuk Kemenag untuk menjaring calon pejabat baru, bukan karena sekedar kenal atau bisikan hantu entah darimana asalnya.