Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Gawai Pintar dan Manusia di Belakangnya

Diperbarui: 29 Oktober 2019   05:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deretan Gawai Pintar (Sumber: gsmarena.com)

The man behind the gun is more important than the gun itself -- anonim

Sekarang ini gawai sudah menjadi kebutuhan dasar manusia disamping sandang, pangan, dan papan. Hampir semua orang memiliki paling tidak satu atau dua gawai sekaligus, bahkan bisa lebih dari itu. Dimana-mana kita menyaksikan betapa gawai telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan dari kegiatan manusia itu sendiri.

Munculnya gawai pintar satu dekade lalu telah mengubah pola hidup manusia, dari sekedar menggunakan gawai untuk telpon dan SMS berubah menjadi multifungsi, mulai dari kalkulator hingga mencari warung kopi, semua ada di situ. Kebayang betapa berat kerja sebuah gawai yang harus mampu menerjemahkan keinginan manusia penggunanya. Salah sedikit saja penggunanya bisa terjebak dalam gang sempit atau malah masuk jurang, atau malah memicu pertengkaran yang tak perlu.

Kehadiran gawai pintar telah mampu menggantikan komputer atau laptop yang terlalu besar untuk dibawa kesana kemari. Lagipula banyak aplikasi gratis yang bisa diunduh tanpa perlu repot-repot membayar seperti program pada komputer biasa. Apalagi yang doyan main games, seolah menemukan sorga di tengah tingginya tekanan pekerjaan.

Namun secanggih-canggihnya gawai, tetap saja manusialah yang menjadi otak di belakangnya. Para generasi kolonial apalagi yang sudah termasuk golongan kaya mampu membeli gawai yang paling canggih sekalipun. Sayangnya, mungkin karena kemampuan memori otak yang semakin terbatas, akhirnya gawai tersebut hanya berfungsi seperti semula, untuk telpon dan kirim pesan saja. Akhirnya ajudan atau anak buahnya yang kerepotan membantu sang bos untuk mengoptimalkan fungsi gawai tersebut baik untuk presentasi maupun mencari lokasi.

Banyak fitur-fitur yang tersematkan dalam gawai menjadi tak berguna ketika dipegang oleh generasi kolonial. Kebanyakan mereka membeli memang demi untuk menaikkan gengsi, bukan mengoptimalkan fungsi yang ada. Paling mentok buat nonton film di Youtube atau mendengarkan lagu sambil menikmati sudut kota saat mengendarai mobil bersama supirnya. Akhirnya mereka menyewa admin khusus agar tidak ketinggalan bermedia sosial melalui gawai tersebut.

Kebalikannya dengan generasi milenial yang tergolong fresh graduate atau baru bekerja beberapa bulan. Mau beli gawai paling canggih belum mampu, sementara gawai yang standar terlalu lemot padahal kemampuannya menggunakan aplikasi jauh lebih canggih dari generasi kolonial. Namun apa mau dikata, kemampuan belum sebanding dengan penghasilan untuk mampu membeli gawai tercanggih.

Akhirnya waktu mereka habis hanya untuk bermedsos ria yang tak membutuhkan ruang memori besar dan gawai mahal. Paling banter nyari aplikasi game gratisan untuk membunuh waktu setelah bekerja seharian. Kalau lagi beruntung bisa jadi admin gawai bosnya sekaligus curi-curi waktu utuk mengoprek gawai canggihnya.

* * * *

Gawai bisa bermanfaat, bisa juga membawa mudharat. Gawai bisa menebarkan ilmu dan kebaikan melalui pesan di medsos, begitu pula sebaliknya, bisa menebar hoax bahkan hingga memicu peperangan. Gawai bisa mempercepat proses pengiriman data penting yang dibutuhkan saat itu juga. Namun gawai juga bisa memanipulasi order atau menciptakan order fiktif untuk memperoleh keuntungan dari berbagai bonus yang ditawarkan aplikasi belanja online.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline