Ramainya kasus KPAI vs PB Djarum yang berbuntut dihentikannya audisi talenta muda bulutangkis kita seolah membuka kotak pandora yang selama ini tertutup rapat. Selama ini kita sering tidak menyadari bahwa hampir semua event olahaga termasuk pembinaannya didukung oleh pabrik rokok yang justru kontradiktif dengan semangat olahraga yang mengedepankan hidup sehat.
Terlepas dari kontroversi kasus tersebut, patut dipertanyakan kembali mengapa perusahaan rokok kerap menjadi sponsor utama pembinaan olahraga. Selain Djarum, mungkin kita pernah dengar Sampoerna dengan tenis dan Gudang Garam dengan tenis mejanya. Selain itu pernah terdengar pula Liga Djarum Super yang mensponsori kompetisi sepakbola beberapa tahun lalu.
Memang harus diakui, industri rokok boleh dibilang paling stabil pendapatannya serta mendatangkan keuntungan besar baik untuk perusahaan maupun cukai yang diperoleh pemerintah. Walau hampir tiap tahun cukai rokok naik namun tetap saja permintaannya stabil. Iklan layanan masyarakat tentang bahaya rokokpun seolah tak mempan mengurangi jumlah pecandu rokok.
Sementara industri lain masih berkutat dengan hutang dan persoalan UMR, pabrik rokok malah anteng-anteng saja. Bahkan para pemilik pabrik rokok termasuk dalam 10 besar orang terkaya di Indonesia. Pemasukan negara juga cukup besar dari industri ini.
Tahun lalu saja cukai rokok menyumbang 159,7 trilyun Rupiah dari total penerimaan negara sebesar 1.316 trilyun Rupiah atau sekitar 12%. Jumlah ini tentu tidak main-main besarnya bila dilihat dari prosentasenya yang cukup untuk membiayai operasional satu kementerian PU atau beberapa kementeeian kecil lainnya.
Besarnya pendapatan dari rokok itulah yang membuat perusahaan rokok mampu membiayai berbagai kegiatan olahraga termasuk pembinaannya. Ibaratnya membuang uang 1 trilyun tak akan mengurangi keuntungan perusahaan secara signifikan.
Anggaplah uang tersebut sebagai 'penebus dosa' atas rusaknya kesehatan yang diakibatkan oleh rokok. Lagipula rokok Indonesia jauh lebih 'bergizi' karena murni dari tembakau dibanding rokok kertas produksi luar negeri yang rentan penyakit.
Sementara itu mengandalkan perusahaan lain non rokok rasanya koq berat. Lha wong hampir tiap hari didemo buruhnya sendiri yang selalu menuntut kenaikan UMR. Belum lagi kondisi perekonomian yang belum stabil dan kondisi lingkungan yang kurang kondusif membuat sebagian industri hengkang ke luar negeri.
Mengandalkan pemerintah apalagi, lha untuk membangun infrastruktur saja masih ngutang, apalagi kebijakan memindahkan ibukota juga butuh dana besar walaupun katanya tidak melulu mengandalkan APBN. Porsi olahraga tak sampai 2% dari APBN membuat pembinaan jadi tak maksimal.
Olahraga di negeri ini memang belum menjadi profesi yang menghasilkan uang sehingga perlu ditopang sumber pendanaan yang kuat untuk menghidupinya. Olahraga juga masih menjadi tontonan gratis, kalaupun berbayar sangat murah tiketnya dan tidak mampu menutupi biaya penyelenggaraan event, boro-boro untuk pembinaan. Mahal sedikit dijamin stadion bakal sepi.
Penontonnya juga masih senang tawuran. Belum lama ini laga Indonesia - Malaysia juga berakhir ricuh akibat sebagian supporter tidak terima kekalahan di menit-menit terakhir. Kondisi inilah yang membuat perusahaan semakin 'malas' untuk menjadi sponsor olahraga di tanah air.