Ibarat permainan catur, politik itu memang susah ditebak ke mana arahnya. Kemarin berseberangan sekarang bergandengan tangan itu sudah biasa di dunia politik.Tak ada yang abadi kecuali kepentingan, apalagi untuk berkuasa. Itulah sejatinya permainan politik, tinggal bagaimana caranya apakah halus atau kasar saja yang membedakan.
Safari politik AHY belakangan ini menarik untuk dicermati secara mendalam. Dimulai dari silaturahmi politik ke istana pasca pilpres kemarin, walau konon sebenarnya diundang oleh Presiden Jokowi, lalu dengan cerdik memanfaatkan momen lebaran bersilaturahmi ke kediaman mantan presiden Megawati. Sebelumnya saat pemakaman ibunda, sang ayahanda untuk pertama kalinya tampak menyambut hangat Megawati dan bu Mega sendiri seperti lupa akan dendam masa lalunya.
Partai Demokrat sendiri sebenarnya jelas-jelas berkoalisi dengan Partai Gerinda yang notabene berseberangan dengan pemerintah. Namun menjelang pilpres dan pileg, Demokrat tampak mulai bermain di dua kaki setelah membebaskan para kadernya untuk mendukung siapapun capresnya sesuai hati nurani. Bahkan dalam beberapa kesempatan tampak sekali twitwar antara pengurus Demokrat dengan sesama partai koalisinya sendiri.
Namun saya mencoba berpikir positif bahwa langkah AHY yang tampak seolah merapat ke kubu pemerintah merupakan langkah awal terciptanya rekonsiliasi selain tentunya investasi politik jangka panjang. Dipilihnya AHY sebagai duta rekonsiliasi bukan tanpa alasan, karena track record yang bersangkutan yang tidak banyak berkomentar negatif terhadap pemerintah, serta hubungan baik yang sudah lama terjalin baik dengan Presiden Jokowi maupun putranya.
Sebagai mantan presiden, tentu SBY masih memiliki gengsi yang tinggi untuk bertemu langsung dengan Jokowi maupun Megawati. Oleh karena itu merupakan langkah yang tepat untuk mengutus putranya yang juga pengurus partai Demokrat untuk menjembatani proses rekonsiliasi dengan kubu pemenang pilpres. Lagipula SBY adalah sahabat dekat Prabowo yang pernah satu angkatan ketika di Akmil dulu dan sama-sama pernah bertugas di Timtim.
Prabowo sendiri tentu gengsi untuk menerima, apalagi memulai rekonsiliasi dengan Jokowi. Selain masalah harga diri, juga tekanan para pendukungnya yang masih saja menginginkan beliau berkuasa dengan berbagai cara, apalagi sampai menggunakan kekuatan massa. Disinilah peran penting SBY dan AHY untuk menjadi jembatan rekonsiliasi karena bisa dianggap netral oleh kedua belah pihak. Sementara LBP mem-backup di belakang layar karena masih menjadi bagian dari pemerintah walau secara pribadi sangat dekat dengan Prabowo.
SBY bisa kembali membujuk Prabowo sebagai sesama alumni Akabri, sementara AHY bisa lebih intensif mendekati Jokowi. Ini tentu sebuah tantangan tersendiri, terutama untuk membujuk Prabowo karena sulitnya beliau keluar dari kungkungan para pendukung fanatiknya sendiri. Hanya SBY dan LBP yang mungkin bisa melunakkan hati beliau untuk bersedia bertemu dengan Jokowi. Jalan AHY sendiri relatif lebih mudah karena sudah ada sinyal positif dari Jokowi untuk bertemu dengan Prabowo.
Keberhasilan rekonsiliasi ini tentu akan menaikkan kembali pamor Partai Demokrat yang jeblok di pileg 2019 ini, sekaligus juga mengangkat nama AHY sebagai penantang kuat pilpres 2024 seperti sudah tercermin dalam plat nomor mobilnya. Citra AHY akan meningkat karena kemampuannya untuk mendamaikan kedua pihak yang berseteru, persis seperti ayahnya yang memang jago untuk merangkul lawan tanpa harus menjatuhkan.
Kestabilan politik era SBY tak lepas dari kemampuan SBY untuk meredam gejolak dengan memegang para tokoh kunci untuk tidak bersikap macam-macam. Karakter inilah sepertinya yang diturunkan pada AHY untuk menjadi penerus beliau lima tahun mendatang. Bukan tidak mungkin kesuksesan rekonsiliasi nanti akan mengantarnya menuju kursi presiden mendatang. Disinilah pertaruhan terakhir AHY dan SBY untuk mengangkat kembali citra partai Demokrat di mata publik, sebagai rekonsiliator dan pemersatu bangsa di mata rakyat.
Kita hanya berharap rekonsiliasi tersebut berhasil dengan baik tanpa harus jatuh korban lagi pasca keputusan MK nanti. Siapapun aktornya, kesatuan bangsa lebih penting daripada kepentingan seseorang atau partai tertentu hanya untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek.