Pemilu raya yang menggabungkan pilpres dan pileg telah selesai dilaksanakan tanggal 17 April lalu. Secara finansial, penggabungan kedua pemilihan tersebut jelas efisien karena mengurangi biaya penyelenggaraan dua kali pemilu dalam setahun. Selain itu, panitia (KPPS) juga cukup sekali kerja langsung capek tapi beres semuanya dalam semalam, tidak perlu begadang untuk kedua kalinya di TPS.
Namun demikian, bukan berarti pemilu gabungan tersebut tidak ada cela. Dampak paling terasa adalah berkurangnya greget pileg akibat kalah bersaing dengan hiruk pikuk pilpres. Para caleg tenggelam dalam gegap gempita kampanye capres 01 dan 02, tidak ada ruang sedikitpun untuk menonjolkan diri mereka agar dipilih oleh masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Wapres JK mengusulkan agar pileg dan pilpres kembali dipisah agar masyarakat fokus pada pileg, tidak hanya pilpres saja (sumber di sini).
Selain itu, ternyata dampak dari penggabungan pemilu tersebut sudah mengkhawatirkan karena banyaknya nyawa melayang karena bertugas sebagai KPPS, saksi, pengawas, atau petugas terkait lainnya seperti polisi. Pemerintah dan DPR lupa, bahwa yang bekerja itu manusia, bukan robot atau komputer yang mampu bekerja lebih dari 24 jam berturut-turut tanpa henti.
Manusia memiliki keterbatasan baik fisik, psikologi, maupun pikiran yang tidak bisa dipaksa bekerja selama 24 jam penuh demi mengejar tuntasnya perhitungan suara.
Sewaktu kuliah dulu, saya dan mungkin banyak teman-teman mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan metode SKS alias sistem kebut semalam. Namun sesibuk-sibuknya mengerjakan tugas, tetap saja bila mata sudah mengantuk kasur menjadi tujuan akhir walau dengan risiko terlambat mengumpulkan tugas. Paling mentok tidak lulus mata kuliah tersebut, atau nilainya dikurangi karena lalai mengumpulkan tugas.
Lain halnya dengan petugas KPPS, tidak ada cerita bisa kabur ke kasur bila perhitungan belum selesai. Demikian pula dengan para saksi dan pengawas serta petugas terkait lainnya.
Seluruh perhitungan harus tuntas maksimal satu hari setelah dilaksanakan pencoblosan dan tidak bisa ditunda barang satu dua jam karena dikhawatirkan akan terjadi kecurangan akibat kotak suara sudah terlanjur dibuka. Petugas hanya bisa beristirahat secara bergiliran, namun tetap harus ada yang menghitung, tak boleh putus barang satu menit saja untuk menghindari kecurigaan.
Sayangnya, tidak ada pemeriksaan kesehatan khususnya bagi calon petugas KPPS sebelum bertugas. Tidak semua petugas memiliki fisik yang prima, mampu begadang selama lebih dari 24 jam dengan tetap fokus meneliti coblosan yang kadang terlalu kecil untuk dilihat, dan mengamati angka-angka yang begitu banyaknya terutama pada pileg DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, dan DPD. Jadi amat sangat wajar bila kemudian terjadi salah hitung akibat tingkat ketelitian menurun sehingga harus diulang kembali perhitungannya.
Akibatnya, seperti diberitakan di sini dan di sini, banyak anggota KPPS maupun petugas terkait lainnya termasuk polisi meninggal dalam tugas karena kelelahan setelah menghitung suara maupun menjaga kotak suara. Tentu ini sebuah tragedi besar mengingat jumlah korbannya mencapai puluhan jiwa, sesuatu yang rasanya belum pernah saya dengar hingga sebanyak itu pada pemilu sebelumnya.
Sayangnya lagi, hal ini hanya sekadar menjadi berita yang menghiasi headline saja. Korban hanya dianggap sebagai statistik layaknya QC tanpa ada kepedulian lebih lanjut baik dari pemerintah maupun KPU, apakah berupa santunan atau penanganan lainnya agar hal ini tak terjadi lagi.
Masyarakatpun tampak lebih peduli pada otak atik angka hasil pilpres daripada menangisi tragedi ini. Mereka lebih peduli pada kemenangan jagoannya daripada para petugas yang mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa dalam menyelesaikan perhitungannya.