Bagi yang menonton acara ILC (Indonesia Lawyers Club) di sebuah stasiun TV swasta dengan tema "Di Balik Drama Hoax Ratna Sarumpaet" pasti menemukan ada hal yang agak sedikit ganjil.
Tak seperti acara-acara ILC sebelumnya yang selalu ramai dan gaduh oleh riuh rendahnya para narasumber yang saling bersahutan satu sama lain, ILC kali ini terkesan 'santun' dan cenderung normatif. Sebuah antiklimaks mengingat dalam acara tersebut yang paling ditunggu adalah serunya perdebatan antar sesama narasumber.
Dari awal acara yang dibuka dengan penyampaian pesan Ratna Sarumpaet oleh pengacaranya Desmihardi hingga menjelang acara ditutup yang diakhiri oleh penyampaian kondisi psikologis Ratna Sarumpaet oleh psikiater Hubertus Kasan Hidayat, nyaris tak ada pertempuran seru di antara narasumber.
Hampir semua narasumber menyampaikan pendapatnya secara normatif, bahkan Dahnil sekalipun yang mewakili timses Prabowo Sandi tampak lugu dan hanya menyampaikan kronologis peristiwa kebohongan Ratna Sarumpaet dengan datar nyaris tanpa ekspresi, hanya di akhir sedikit membandingkan bahwa Presiden Jokowipun pernah tertipu oleh Archandra Tahar yang ternyata masih warga negara AS.
Fahri Hamzah yang biasanya berapi-api kali ini juga tampil antiklimaks seperti pesan yang disampaikannya sendiri. Walau masih tetap melakukan serangan terhadap lawan politik (dalam hal ini Budiman Sudjatmiko), namun tutur katanya masih jauh lebih santun dibanding edisi-edisi sebelumnya.
Hanya Budiman Sudjatmiko saja yang tampak agak berapi-api seolah hendak memuntahkan amarahnya karena masih tak terima inkonsistensi kubu lawan, ketika Ahok harus 'dipaksa' mengikuti proses hukum padahal sudah meminta maaf, sementara kubu lawan tak mau diproses hukum dengan alasan sudah meminta maaf.
Tidak adanya narasumber yang biasa mengisi ILC seperti Mahfud MD, Rocky Gerung, Fadli Zon, Ruhut Sitompul memang sangat terasa, ibarat makan ikan tanpa garam. Perdebatan hanya terjadi antara Fahri dan Budiman, itupun hanya Budiman yang tampak bersemangat, sementara Fahri terlihat setengah hati menanggapi serangan Budiman. Sementara Saor Siagian yang melaporkan Fahri dan Prabowo nyaris diabaikan padahal penyampaiannya tak kalah berapi-api dari Budiman, namun tak digubris oleh Fahri Hamzah yang turut mendengarkan uraiannya.
Narasumber lainnya seperti pak Setyo Wasisto dari Polri, Ilham Bintang dari Dewan Kehormatan PWI, Prof. Andi Hamzah ahli hukum pidana, Burhanuddin Muhtadi pengamat politik, tampil datar dan nyaris tak ada nada tinggi dalam penyampaiannya.
Hanya Setyo sedikit mengklarifikasi pernyataan Ilham Bintang bahwa semua press release ada bukti rekamannya, jadi tak ada isu lain diluar rilis yang telah dikeluarkan Polri. Masing-masing hanya menyampaikan sudut pandangnya sesuai keahlian yang dimiliki.
Inti dari semua pembicaraan ini pada akhirnya meminta semua pihak untuk tidak lagi mempolitisasi kasus ini dan cukup berhenti di Ratna Sarumpaet saja. Lagipula bagi 'die harder' Prabowo, nyaris tak ada pengaruhnya sama sekali terhadap penurunan elektabilitas beliau, hanya sedikit berpengaruh pada swing voter yang masih galau menentukan pilihan, namun karena pilpres masih lama, bisa saja angin kembali bertiup ke kubu Prabowo.
Saya hanya tertarik meng'quote' pandangan ahli psikiater pak Kasan yang menyatakan bahwa di negara kita banyak pemimpin kurang matang. Beliau mencontohkan Fahri bahwa sebenarnya hatinya baik, tapi mulutnya celaka, sudah minta maaf tapi menyerang lagi. Cara ngomong itulah yang menggambarkan kurang matangnya para tokoh ternama di negeri ini dalam menanggapi suatu masalah.