Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Bercermin dari Ketegasan Jepang Memulangkan 4 Atletnya dari Asian Games

Diperbarui: 21 Agustus 2018   11:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Timnas Basket Jepang (Sumber: detik.com/AFP)

Setiap orang bisa saja melakukan kesalahan, bahkan orang Jepang sekalipun yang dikenal tertib dan taat aturan. Namun yang menjadi pembeda adalah Jepang tidak memberikan toleransi terhadap kesalahan walau hanya sekedar melanggar kode etik, bukan kriminal.

Kasus terkini yang menjadi viral di media adalah terungkapnya perilaku 4 pebasket timnas Jepang yang kedapatan "ngeluyur" ke sebuah restoran di bilangan Blok M dan tergiur tawaran untuk melakukan prostitusi.

Dikutip dari suara.com, keempat atlet tersebut diketahui meninggalkan Wisma Atlet pada hari Kamis malam usai bertanding melawan Qatar untuk makan malam di sebuah restoran Jepang. Di tempat itulah mereka konon ditawari PSK oleh seseorang dan langsung berkencan malam itu juga di sebuah hotel.

Celakanya mereka masih mengenakan kostum nasional Jepang saat keluyuran tersebut. Ulah keempat atlet tersebut akhirnya terbongkar dan langsung dijatuhi sanksi dipulangkan kembali ke negaranya dengan biaya sendiri.

Komite Olimpiade Jepang memang tidak main-main terhadap pelanggaran kode etik dan disiplin atlet yang telah disampaikan sebelum mendarat di Indonesia. Keempat atlet pun tidak banyak berkelit dan segera angkat kaki dari Indonesia hari Senin ini setelah dijatuhi sanksi indisipliner. Mereka tidak ingin tindakan memalukan tersebut mencoreng nama baik bangsa Jepang yang terkenal disiplin dan tertib.

Keberanian Komite Olimpiade Jepang patut diacungi jempol dan seharusnya bisa ditiru oleh bangsa kita, walaupun secara tim mereka rugi besar karena tinggal delapan pemain tersisa untuk menghadapi pertandingan berikutnya. Lebih baik kalah terhormat daripada menang namun cacat karena tindakan indisipliner beberapa pemainnya.

Persoalannya, di negeri ini etika belumlah menjadi patokan untuk menegakkan disiplin. Masih banyak di antara kita yang selalu "ngeles" saat melanggar etika, dengan alasan klasik: tidak ada sanksi yang mengatur, atau tidak ada dasar hukumnya.

Hukum hanya berlaku bila tertuang jelas pasal dan ayatnya. Etika hanya manis di mulut tapi sulit untuk dilaksanakan. Pelanggar etika tidak lagi merasa malu berhadapan dengan publik, malah dengan vulgar memamerkan pelanggarannya di medsos.

Sudah sering juga kita dengar atlet yang melakukan pelanggaran etika dan dibiarkan begitu saja karena atlet tersebut berprestasi sehingga rugi kalau Indonesia kehilangan dirinya. Padahal percuma prestasi tinggi kalau tidak diimbangi etika yang baik sebagai olahragawan.

Bercermin dari kasus ini, sebaiknya kita mulai belajar dari Jepang bagaimana menegakkan etika tanpa pandang bulu, agar atlet kita tidak sekadar berprestasi tapi juga menjunjung tinggi etika.

Lebih luas lagi, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita perlu menegakkan kembali etika dan moral yang hancur pascareformasi. Kita harus kembali menegakkan budaya malu bila melakukan pelanggaran etika, tidak petantang-petenteng di layar kamera atau malah selfie sambil diborgol atau pakai jaket oranye di medsos.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline