Berita mengejutkan datang pagi tadi, mantan PM Malaysia ditangkap oleh KPK Malaysia atas tuduhan penggelapan uang semasa menjabat Perdana Menteri terkait dengan skandal 1MDB. Dilansir dari web Berita Harian, mantan PM tersebut didakwa 3 tuduhan terkait penyalahgunaan wewenang dan satu tuduhan menerima suap sejumlah 42 Juta RM dari sebuah badan usaha yang menjadi anak perusahaan 1MDB.
Sudah sejak lama kasus tersebut telah terendus kejaksaan dan Suruhanjaya Pencegahan Rasuah Malaysia (SPRM) yang merupakan KPK-nya Malaysia. Namun karena masih memerintah, tampaknya mereka segan untuk mengusut kasus tersebut dan berupaya mempetieskan dengan mencopot jaksa agung menjelang pilihan raya Malaysia. Pihak oposisi sendiri sudah geram dengan tingkah polah Najib dan istrinya yang gemar mengkoleksi pakaian dan tas-tas bermerek serta barang mewah lainnya, sehingga begitu memperoleh kesempatan berkuasa, langkah pertama yang dilakukan adalah mencegah Najib dan istrinya bepergian ke luar negeri.
Hari ini pukul tiga dinihari waktu Malaysia, SPRM menjemput Najib Razak di kediamannya untuk dihadapkan ke mahkamah tinggi siang hari ini (4 Juli 2018). Saat didakwa di mahkamah tinggi, Najib tetap merasa tidak bersalah dan berusaha untuk menangguhkan penahanannya dengan menyediakan jaminan berupa uang sebesar 4 Juta RM dan dua orang penjamin. Beliau berharap pengabdiannya selama ini sebagai perdana menteri menjadi pertimbangan hakim untuk dapat membatalkan berbagai tuduhan tersebut.
Perilaku Najib Razak ditengarai mirip dengan mantan Presiden RI Soeharto dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos selama berkuasa. Mereka sama-sama bersikap seperti diktator, walau Najib relatif lebih lunak dibanding dua mantan pemimpin negara ASEAN tersebut. Namun bicara penumpukan harta, perilakunya hampir sama. Saat dilakukan penggeledahan di sebuah apartemen yang diduga terkait mantan PM tersebut, ditemukan 72 tas berisi uang dan perhiasan serta 284 kotak berisi tas mewah (sumber berita di sini).
Saya pribadi cukup kaget mendengar berita tersebut, mengingat kita sebagai sesama rumpun Melayu biasanya masih menghargai para mantan pemimpinnya untuk dikecualikan dari tuduhan kejahatan apalagi terkait korupsi.
Mahathir Muhammad begitu resmi menjabat PM Malaysia langsung memerintahkan jaksa agung untuk membuka kembali kasus 1MDB yang mengendap di era Najib, padahal baru saja dilakukan serah terima jabatan di hadapan Yang Dipertuan Agong Malaysia. Keberanian Mahathir Muhammad menangkap mantan perdana menteri sebelumnya patut diapresiasi dan dapat menjadi contoh bagi negara di sekitarnya, termasuk Indonesia.
Seharusnya KPK Indonesia mampu mencontoh apa yang dilakukan SPRM apabila memang sudah ditemukan bukti-bukti permulaan. Jangan merasa segan apalagi takut menghadapi 'orang besar' apabila memang sudah memiliki minimal dua alat bukti. Kasus penangkapan Najib bisa menjadi inspirasi bagi para penegak hukum untuk mulai lebih serius menangani kasus-kasus besar seperti e-KTP atau bank Century yang ditengarai bakal menyeret nama-nama besar di belakangnya.
Sebagai catatan, dulu pada saat awal dibentuknya SPRM mengirimkan aparatnya untuk belajar dari KPK Indonesia (sumber di sini). Sekarang mereka justru mendapatkan tangkapan besar dan lebih berani bertindak ketimbang KPK sendiri yang seperti lebih fokus pada urusan pilkada daripada menyelesaikan kasus-kasus besar.
Padahal Presiden Jokowi sudah terang-terangan menyatakan perang terhadap korupsi yang masih dilakukan secara masif dan terstruktur di negeri ini. Lalu apakah harus menunggu final Piala Dunia dulu sambil makan kacang dan minum kopi baru bertindak tegas?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H