Bencana tsunami di Aceh merupakan salah satu bencana dengan jumlah korban terbesar di dunia selain perang. Kota Meulaboh termasuk wilayah yang paling parah terkena tsunami karena hampir 80% bangunan rusak parah bahkan hancur diterjang ombak. Kini setelah 13 tahun berlalu kondisinya berangsur-angsur membaik, bahkan nyaris tak tampak lagi bekas-bekasnya.
Saya berkesempatan mengunjnngi Meulaboh untuk meninjau pekerjaan yang sedang dibangun di kabupaten Nagan Raya yang bersebelahan dengan kabupaten Aceh Barat.
Dari Banda Aceh kita menyusuri pantai barat yang dulu terkena dampak berat tsunami menuju ke Meulaboh dengan waktu tempuh sekitar lima jam perjalanan. Jalan yang dilalui boleh dikatakan mulus bahkan lebih mulus dari jalan tol di Jawa. Kita bisa memacu kendaraan di atas 100 km/jam bila tidak ada kerbau atau sapi melintas.
Jalanan tidak terlalu ramai sehingga kita bisa melaju cukup kencang. Pemandangan pantainya sangat indah dan perjalanan pun bervariasi mulai jalan datar, kemudian sedikit memasuki perbukitan dengan jalan berkelok menembus Gunung Geurutue yang indah. Kami sempat mampir ngopi sejenak sambil menikmati pemandangan pantai yang sangat indah dari tebing bukit.
Kebetulan matahari menjelang terbenam jadi pas sekali waktunya mengambil foto sunset. Kami tiba di Meulaboh sekitar jam 9 malam dan langsung menuju penginapan untuk beristirahat hingga esok pagi.
Setelah urusan pekerjaan selesai, siangnya kami mencoba menyusuri jejak tsunami yang tersisa di kota Meulaboh. Nyaris tak tampak lagi bekas-bekas tsunami di pusat kota. Kehidupan sudah berjalan normal seperti biasa dan banyak bangunan baru atau diperbarui bermunculan seperti tak ada tanda-tanda bekas serangan tsunami. Tampak masjid Nurul Huda yang selamat dari amukan tsunami masih berdiri kokoh dan tampak lebih cantik.
Jejak tsunami baru terasa ketika kami mulai menyusuri pantai Ujong Karang. Tampak bangunan seperti bekas sekolah atau asrama masih berdiri namun sudah jebol sebagian diterjang air laut.
Lalu terlihat juga bekas perkantoran yang masih tersisa setelah dilahap air laut tak jauh dari bangunan pertama. Alang-alang tampak mengubur lahan bekas bangunan yang telah rata dengan tanah. Sementara beberapa ratus meter di depan, dekat pantai terdapat kuburan massal korban keganasan tsunami.
Tak jauh dari pantai Ujong Karang terdapat tugu topi Teuku Umar, yang konon di tempat itulah beliau ditembak mati oleh Belanda tahun 1899. Namun posisi sekarang ini sudah bergeser dari posisi semula yang tenggelam karena tsunami.
Perjalanan dilanjutkan menyisir pantai lalu berbelok kembali ke arah kota untuk menuju ke Banda Aceh. Di sepanjang pantai tampak beberapa warung kembali dibangun untuk nangkring sambil ngopi menikmati suasana pantai. Namun karena cuaca masih panas kami urungkan niat untuk ngopi di tempat tersebut.
Tsunami memang menyisakan duka yang mendalam bagi Bangsa Indonesia. Namun kita harus angkat topi kepada masyarakat Aceh yang cepat bangkit dan berusaha melupakan tragedi tersebut. Perekonomian sudah kembali normal, lalulintas juga semakin ramai menandakan geliat pertumbuhan daerah semakin pesat. Tak ada lagi tangis dan duka, berganti dengan wajah ceria menatap masa depan.