Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Sesajen untuk Buka Puasa di Masa Kecilku

Diperbarui: 3 Juni 2018   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Es Buah Sesajen Buka Puasa (Dokpri)

Kewajiban puasa sebenarnya mulai berlaku sejak seseorang dianggap akil baligh atau sudah dewasa. Namun untuk melatih kekuatan berpuasa, sejak kecil saya sudah 'dipaksa' oleh orang tua menjalankan ibadah tersebut walau masih dilakukan semampunya. Misalnya sahur boleh diperpanjang sedikit hingga setelah azan subuh, atau berbuka di siang atau sore hari bila sudah tidak kuat lagi.

Saya mulai berlatih puasa sejak kelas 1 SD atau sekitar usia 7 tahun. Awal mula latihan puasa memang terasa berat sekali. Mata kunang-kunang, perut mules, kepala pusing sudah menjadi makanan sehari-hari. Walau dipaksakan, kadang tidak kuat juga sehingga saya terpaksa minum di siang hari. Kadang latihannya di selang seling, sehari puasa sehari tidak, seperti puasanya Nabi Daud. Lumayan juga hasilnya, kadang bisa sampai azan Maghrib walau hanya satu dua kali saja.

Namanya juga anak kecil, untuk memancing semangat puasa ortu mengiming-imingi sesajen agar mampu memaksakan diri hingga azan maghrib dikumandangkan. Sesajen yang diberikan biasanya dalam bentuk susu kotak, telur ceplok, atau es buah dan gorengan, serta uang 25 Rupiah (setara 500 Rupiah sekarang). Saya yang tadinya malas-malasan berpuasa jadi semangat 45 mendengar iming-iming tersebut.

Segala strategi diupayakan agar puasanya kuat hingga bedug Maghrib ditabuh. Kalau lagi libur, saya sengaja bangun siang pas azan Dhuhur untuk sholat, lalu tidur lagi hingga Asar. Kemudian setelah Asar main Nintendo atau bersepeda hingga Maghrib, biar terasa hausnya. Kalau lagi sekolah, begitu bel pulang berbunyi saya main ke tempat teman hingga siang hari (dulu sekolah hanya sampai pukul 10 pagi), baru pulang ke rumah dan langsung tidur hingga jam 5 sore. Setelah sholat Asar saya main gundu atau galasin dengan teman-teman hingga Maghrib.

Ortu juga punya strategi sendiri untuk menambah semangat puasa. Beliau sengaja tidak menyimpan stok sesajen banyak dan memaksa saya untuk membelinya di warung sambil ngabuburit. Hal ini dilakukan agar saya tidak terus-terusan tidur serta menghindari keluhan saya yang sering merengek kehausan di sore hari. Kalau lagi lemes biasanya ortu ikut mengantar dan memboncengkan saya di belakang vespanya, keliling kelurahan untuk berburu takjil.

Setelah dihitung-hitung, lumayan juga sih jumlah hari puasanya. Sewaktu tahun pertama berpuasa saya hanya kuat menjalani 10 hari puasa. Dengan distimulasi sesajen, hari puasa tahun berikutnya meningkat jadi 20 hari.  Biasanya saya tidak kuat puasa saat mudik lebaran karena harus berpanas-panasan di jalan (dulu belum ada mobil ber-AC). Bahkan sejak kelas V SD saya sudah mampu berpuasa sebulan penuh hingga membuat ortu pusing menyiapkan sesajennya. Akhirnya sejak kelas 1 SMP, segala bentuk sesajen dihentikan, diganti dengan uang lebaran yang lebih besar jumlahnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline