Ada satu keanehan ketika saya pertama kali mendarat di Pulau Haruku, Ambon, tepatnya di Negeri (Desa) Pelauw yang merupakan kampung orang ternama di Ambon.
Di tengah puing-puing reruntuhan bangunan pasca bentrok antar warga, ada satu bangunan yang tetap berdiri utuh dan tampak tak kurang suatu apapun. Bentuknya seperti masjid, namun penampakannya tampak aneh dan misterius karena tidak ada tanda-tanda bahwa masjid tersebut digunakan warga setempat untuk beribadah. Letaknya tepat berada di tengah-tengah Negeri Pelauw, di antara rumah-rumah lama dan makam tua yang berdiri di sekitar masjid.
Menurut penduduk setempat, masjid tersebut merupakan masjid adat yang tak boleh sembarang orang memasukinya. Masjid tersebut hanya boleh digunakan oleh warga lokal setempat yang sudah turun-temurun tinggal di negeri tersebut. Selain untuk beribadah, segala upacara adat juga berlangsung di masjid tersebut. Jadi memang benar-benar sakral dan misterius, hanya warga setempat saja yang tahu seluk beluk masjid tersebut. Bahkan untuk masuk pun dilarang sehingga saya hanya bisa memotret dari depan dan samping saja.
Tidak ada yang tahu persis kapan masjid tersebut dibangun pertama kali, namun konon masjid yang sekarang sudah berusia lebih dari dua abad.
Pengaruh Jawa dan Bali cukup kuat dalam upacara adat yang diselenggarakan di masjid tersebut. Terbukti dari bentuk kubah masjid yang berundak, serta pakaian adat yang digunakan mirip dengan yang ada di Bali. Islam sendiri masuk pada abad ke-13 oleh saudagar dari Jawa dan Pasai yang mampir ke pulau tersebut dengan menggunakan pendekatan ala Walisanga sehingga beberapa adat lokal masih dipertahankan.
Warga negeri Pelauw memang terbelah dua sejak terjadi perbedaan penentuan hari Lebaran. Ada yang mengikuti pemerintah namun ada pula yang tetap memegang teguh adat dengan menggunakan hisab yang bisa berbeda sekitar 3-4 hari dari waktu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Mereka yang mengikuti pemerintah disebut orang muka (OM) dan pemikirannya cenderung lebih moderat daripada orang belakang (OB) yang masih berpikiran tradisional. Orang muka berarti melakukan shalat Ied di muka mengikuti pemerintah, sementara orang belakang diartikan shalat Ied sesuai dengan kalender mereka yang berbeda hingga 3-4 hari dari ketentuan pemerintah.
Karena tidak ada titik temu di antara kedua kubu tersebut akhirnya terjadilah beberapa kali bentrok hingga menimbulkan korban tewas dan rumah-rumah yang dibakar warga. Padahal mereka sebenarnya bersaudara satu sama lain dalam satu kampung (negeri) yang sama.
Masjid adat menjadi pusat perebutan kekuasaan antara OM dan OB, namun demi menjaga kesucian masjid maka kaum OM biasanya mengalah tidak menggunakan masjid adat untuk sholat Ied dan mereka lebih memilih masjid lain yang berada dekat pelabuhan.
Sampai saya kembali ke Ambon, misteri masjid adat tersebut tetap belum terpecahkan. Mungkin karena suasana masih dalam kondisi konflik, banyak warga yang tak mau bercerita mengenai hal ihwal masjid tersebut.
Saya hanya bisa mengorek sedikit informasi dari aparat desa (negeri) yang mendampingi kami berkeliling desa memantau perkembangan pascabentrokan sekaligus menyiapkan rencana perbaikan prasarana desa. Saya sendiri akhirnya sholat zhuhur di masjid depan pelabuhan yang bisa dipakai untuk umum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H