Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Toko Buku yang Semakin Langka

Diperbarui: 18 Mei 2018   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: hugohouse.org

Mungkin banyak orang yang lupa, termasuk saya, bahwa hari ini adalah hari buku nasional. Saya sendiri baru sadar ketika membaca tulisan mas Benny di sini yang menjadi featured article hari ini. Sekarang ini buku semakin menjadi barang langka dan hanya dapat ditemui di beberapa toko saja. Apalagi dengan adanya internet, orang lebih suka mencari referensi dari website ketimbang buku.

Kilas balik ke masa kecil saya dulu, masih lekang dalam ingatan di dekat tempat tinggal saya di bilangan Kebon Jeruk, ada dua toko buku yang menjual buku-buku bacaan di samping buku pelajaran. Hingga kuliah kedua toko buku tersebut masih eksis, sampai menjelang krismon, satu demi satu toko buku tersebut tutup atau berganti wajah. Satu benar-benar tutup, satu lagi berubah menjadi toko alat tulis dan masih menjual khusus buku pelajaran saja.

Sewaktu pulang kampung saat masih kecil dulu, saya juga sering mampir ke toko buku di pusat kota. Ketika selesai kuliah, toko buku tersebut sudah berganti wajah menjadi toko alat tulis biasa tanpa ada sebuah buku pun dijual. Krisis moneter membuat harga kertas dan alat cetak menjadi mahal sehingga harga buku ikut terkerek naik. Mahalnya harga buku membuat penerbit makin selektif menerbitkan buku, dan hanya genre tertentu yang laku di pasaran saja yang diterbitkan bukunya. 

Perkembangan teknologi internet juga semakin membuat orang malas membeli buku. Untuk mencari referensi sekarang tinggal googling saja, walau sumber informasinya belum tentu valid atau dapat dibuktikan secara ilmiah. 

Dulu sewaktu kecil, saya senang membaca buku sejarah atau teknologi yang disesuaikan dengan bacaan kanak-kanak. Sekarang ini saya perhatikan di rak-rak toko buku sekarang, 50% lebih buku-buku yang dijual berupa novel atau buku cerita, 20% buku-buku agama, sisanya dibagi rata berbagai genre buku ilmiah. Hal itu berarti bahwa buku-buku non fiksi atau bersifat ilmu pengetahuan semakin sedikit dijual di toko buku. 

Saat ini sudah sulit mencari buku-buku sejarah atau teknologi yang layak baca untuk anak-anak dan remaja. Akibatnya fatal, banyak anak-anak dan remaja sekarang tidak tahu sejarah, dan tidak mengerti perkembangan teknologi di luar internet.

Jumlah toko buku pun semakin berkurang dari tahun ke tahun. Hanya jaringan toko buku besar yang masih bertahan di hampir setiap kota, serta pusat buku diskon yang hanya ada di daerah tertentu saja yang masih eksis, seperti Kwitang di Jakarta, Palasari di Bandung, Terban dan Shopping di Jogja. 

Tidak ada lagi toko buku independen atau yang dimiliki perorangan sanggup bertahan seperti toko buku di tempat tinggal saya dulu. Hanya yang mampu membentuk jaringan distribusi yang dapat bertahan hidup di tengah persaingan dengan buku online yang semakin ketat.

Alangkah sayang dunia perbukuan kita semakin redup. Walaupun pameran buku tetap ramai dikunjungi, namun genre bacaannya lebih kepada buku fiksi yang menonjolkan khayalan daripada ilmu pengetahuan. Buku tidak lagi menjadi cahaya ilmu, tapi lebih kepada membuka sensasi khayalan pembaca saja. Semoga pemerintah lebih perhatian kepada dunia perbukuan, tidak hanya masalah penerbitan tapi juga genre buku yang diterbitkan.

SELAMAT HARI BUKU NASIONAL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline