Lihat ke Halaman Asli

Dizzman

TERVERIFIKASI

Public Policy and Infrastructure Analyst

Ketika Semua Orang Menjadi Fotografer

Diperbarui: 3 Mei 2018   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap Orang Berebut Berfoto (Dokpri)

Zaman dulu, berfoto merupakan kegiatan yang sulit dan mahal. Sulit karena harus benar-benar fokus agar tidak goyang, mahal karena harga kamera serta filmnya. Saking mahal harga filmnya, kita hanya benar-benar mengambil foto serius karena sayang kalau gambarnya acak-acakan. Belum biaya cetaknya juga lumayan. Kadang kita harus kehilangan momen gara-gara sayang membuang film yang isi satu roll hanya 24 atau 36 slide saja.

Teknologi membuat segalanya menjadi mudah termasuk mengambil foto. Apalagi kapasitas penyimpanan semakin besar, dan mudah pula menghapusnya bila gambarnya tidak fokus tanpa perlu dicetak terlebih dahulu. Kita bisa memilih mana foto yang hendak disimpan mana pula yang hendak dibuang. Bikin pas foto pun semakin mudah karena sudah ada teknologi kamera depan di hape sehingga kita bisa selfie tanpa harus dibantu orang lain.

Kemudahan mengambil foto membuat setiap orang bisa menjadi fotografer dadakan. Di sinilah persoalan muncul ketika semua orang ingin mengambil momen pada saat yang bersamaan. Cobalah tengok acara wisuda atau perkawinan, atau seminar dan rapat-rapat penting yang dihadiri oleh pejabat tinggi. Ketika prosesi upacara berlangsung semua orang berebut mengambil gambar bahkan sampai menghalangi tukang foto profesional yang memang dibayar untuk mengabadikan momen tersebut.

Tukang Foto Profesional Kalah Saing (Dokpri)

Dalam suatu acara, tukang foto memang mempunyai privilege untuk tidak mengikuti rangkaian upacara, misalnya saat berdoa, mengheningkan cipta, atau suasana hening lainnya. Dia bisa bebas bergerak tanpa terikat protokoler dan tidak ada orang yang bakal menegur karena membawa kamera. Tapi ketika hampir semua orang berbuat hal yang sama, mengambil foto dari berbagai sudut, tentu akan menimbulkan kegaduhan dalam suatu acara. Belum lagi kalau semua orang menggunakan lampu kilat, serasa petir tanpa geledek menghiasi ruangan. Sebuah acara bisa berantakan gara-gara setiap orang berebut sudut terbaik untuk mengambil foto.

Pengumuman Selfie (Dokpri)

Selain itu, kebiasaan selfie menyebabkan orang lupa akan keselamatan dirinya sendiri. Sudah sering kita dengar berita seseorang jatuh dari puncak bukit atau tenggelam di laut gara-gara selfie. Tidak sekadar luka atau cacat, bahkan hingga nyawa pun melayang demi sebuah foto selfie. Untuk menghindari hal tersebut, pengelola tempat wisata menaruh pengumuman di dekat obyek yang justru malah merusak pemandangan obyek itu sendiri. Serba salah memang, tidak diatur orang jadi seenaknya sendiri, diatur malah merusak pemandangan. 

Oleh karena itu perlu pendidikan etika khususnya dalam hal fotografi agar tidak mengganggu pihak lain dan mencelakakan diri sendiri. Panitia acara harus menegaskan bahwa pada saat acara berlangsung hanya fotografer yang terakreditasi atau terdaftar saja yang berhak mengambil foto. Bagi yang memerlukan bisa memesan foto lewat fotografer tersebut, tidak boleh mengambil foto sendiri tanpa seizin panitia. Demikian pula dengan pengelola obyek wisata sebaiknya memberi peringatan di gerbang masuk agar tidak mengganggu pemandangan objek yang populer untuk selfie.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline