Perilaku koruptif memang sudah mendarah daging di negeri ini. Banyaknya para pejabat negara (termasuk kepala daerah, anggota DPR/DPRD) yang tertangkap tangan oleh KPK membuktikan bahwa perilaku ini belum benar-benar musnah dari negeri ini. Namun kita juga tidak bisa mengatakan bahwa mereka berlaku demikian semata-mata karena memperkaya pribadi dan golongannya saja.
Salah satu penyebab munculnya perilaku korupsi adalah karena banyaknya permintaan sumbangan dari berbagai pihak kepada para pejabat yang dianggap sudah mampu. Bayangkan seorang anggota dewan tiap hari bisa menerima satu dua proposal sumbangan, entah untuk rumah ibadah, entah untuk penggalangan dana musibah, entah untuk konser musik, entah apa lagi lah.
Belum lagi oknum LSM, konstituen, wartawan, yang datang langsung atau melalui berbagai media komunikasi dengan enaknya meminta sumbangan, baik secara halus maupun kasar. Apalagi di musim pilkada dan menjelang pilpres saat ini, permintaan sumbangan tentu akan meningkat dengan pesat.
Sebagai pejabat tentu mereka tidak bisa menolak begitu saja permintaan sumbangan yang mengalir bagai air bah itu. Salah menolak bisa-bisa tidak terpilih lagi periode berikutnya, atau kesalahan kecil saja bisa terkuak di media, seperti berfoto bareng 'wanita' lain padahal mungkin hanya warga biasa yang ingin foto bersama. Padahal gajinya cuma segitu-gitunya, paling-paling ada kelebihan tunjangan yang juga tak seberapa besar. Lalu darimana mereka memasok dana sumbangan kalau tidak berlaku koruptif?
Aturan hukum juga kurang adil karena hanya menghukum orang yang menerima gratifikasi saja, tetapi tidak menghukum orang yang meminta atau menerima sumbangan dari pejabat. Jadi wajarlah kalau lebih banyak pejabat yang terkena kasus daripada peminta sumbangan (kecuali terkena OTT). Masih lekat dalam ingatan ketika seorang mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dihukum delapan tahun penjara, sementara salah seorang profesor penerima sumbangan yang jelas-jelasa tertera dalam catatan masih melenggang kangkung hingga saat ini, bahkan semakin kencang teriakannya pada pemerintah.
Menaikkan gaji pejabat tentu bukan solusi karena pasti tidak akan ada habis-habisnya permintaan sumbangan dari sana sini. Percuma kalau gaji dan tunjangan dinaikkan kalau permintaan sumbangan tidak pernah berhenti, bahkan mungkin semakin meningkat. Ini masalah hukum ekonomi, ada penawaran ada permintaan. Kalau dari sisi penawaran sulit dicegah, stop-lah dari sisi permintaan. Kalau tidak ada permintaan sumbangan, berarti juga tidak banyak yang akan disumbangkan oleh pejabat, dan kita bisa dengan mudah menilai pejabat yang memang menyumbang untuk maksud tertentu.
Lagipula mulailah kita biasakan untuk hidup mandiri, tidak lagi tergantung pada orang lain, khususnya pada pejabat yang punya katabelece. Berhentilah meminta sumbangan terutama pada para pejabat, karena mereka bukanlah orang kaya, tetapi orang yang memegang amanah untuk memakmurkan negara ini dengan menggerakkan rakyatnya, bukan dengan memberikan sumbangan.
Oleh karena itu, STOP! Meminta-minta sumbangan pada pejabat negara, karena dengan meminta-minta berarti kita secara tidak langsung juga ikut menyuburkan praktik koruptif, dan uang sumbangan yang kita terimapun juga terpapar uang hasil dari korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H