Kota Tondano merupakan ibukota Kabupaten Minahasa yang merupakan salah satu kabupaten tertua di Sulawesi Utara. Letaknya sekitar 45 Km dari kota Manado, namun suhunya dingin karena berada di kaki Gunung Lokon yang pernah meletus beberapa kali, terakhir tahun 2011 lalu. Namun Tondano lebih dikenal sebagai danau daripada nama kotanya sendiri.
Kotanya sendiri tidak terlalu besar, bahkan masih lebih besar Lembang ukurannya. Namun disini terdapat beberapa bangunan tua seperti gereja dan rumah penduduk yang telah dibangun sejak jaman penjajahan Belanda dulu. Kota ini juga dikenal sebagai kota peristirahatan karena suasana alamnya masih segar dan suhu udaranya relatif sejuk dibanding Kota Manado yang panas karena terletak di tepi pantai.
Penduduknya selain suku Minahasa juga terdapat warga Jawa Tondano alias Jaton yang merupakan keturunan Kyai Mojo dan pengikutnya yang dibuang ke Manado. Peninggalan khas Jaton yang masih eksis adalah Masjid Kyai Mojo yang terletak di Kampung Jawa.
Saat memasuki Tondano, ada sebuah tugu yang bentuknya mirip dengan Monas di Jakarta. Letaknya di perempatan jalan dekat kantor Bupati Minahasa, di depan alun-alun kota. Perempatan tersebut merupakan pusat kota Tondano, dimana terdapat kantor bupati, alun-alun, pasar, dan gereja. Kotanya tidak terlalu ramai dan nyaris tak terlihat pembangunan kota yang signifikan sejak pertama kali kesana tahun 2012 lalu, kecuali sebuah waralaba ayam goreng yang baru berdiri.
Dari kota Tondano saya melanjutkan perjalanan menuju Danau Tondano. Di tengah jalan tampak Monumen Benteng Moraya yang menjadi tempat pertahanan kerajaan Minahasa terhadap serangan Belanda dulu. Sayang bentengnya sudah tidak tampak lagi, berganti menara pandang dan tonggak di sisi kiri kanan selasar yang berisi sejarah perjuangan rakyat Minahasa melawan Belanda dalam Perang Tondano.
Tak jauh dari situs Benteng Moraya terdapat beberapa rumah yang disebut sebagai rumah Belanda karena bentuknya mirip dengan yang ada di Belanda. Sebuah rumah dengan kolam di depannya berada di tengah hamparan sawah yang sedang menghijau cukup menarik perhatian karena menjadi titik sentral di antara permadani hijau. Konon katanya yang empunya rumah masih keturunan Belanda yang menikah dengan gadis pribumi.
Perjalanan berlanjut hingga ke tepi Danau Tondano. Sayangnya pemerintah daerah tampak kurang serius menggarap obyek wisata alam ini. Tak ada gerbang masuk atau tempat wisata yang teratur rapi, hanya rumah-rumah penduduk dan beberapa rumah makan di tepi danau menutupi pemandangan indah dari tepi jalan. Hanya ada pekerjaan pembangunan jalan lingkar danau yang bakal mempermudah pengunjung untuk menikmati danau dari tepi jalan tanpa ada yang menghalangi pandangan.
Di beberapa sudut danau tampak eceng gondok liar, sementara di sudut lainnya eceng gondok tersebut dipelihara sebagai bahan baku anyaman.Eceng gondok merupakan ancaman tersendiri karena menutupi sebagian permukaan danau yang masih relatif jernih ini. Sekarang kondisinya sudah lumayan bersih dibandingkan waktu pertama kali berkunjung tahun 2012 dimana hampir seluruh permukaan danau tertutupi eceng gondok.
Setelah puas berkeliling danau, saya kembali pulang ke Manado melalui jalan yang sama. Di pertigaan tak jauh dari danau Tondano terdapat patung pahlawan Korengkeng Sarapung yang menggambarkan keberanian mereka memimpin warga Tondano berjuang melawan penindasan Belanda, walaupun akhirnya harus mengalami kekalahan. Hari itu cuaca kurang mendukung, terkadang mendung dan hujan, sebentar panas, dan kembali gelap oleh awan hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H