Dahulu Macao merupakan daerah koloni Portugal sebelum diserahkan kepada Tiongkok pada tanggal 20 Desember 1999 setelah berakhirnya perjanjian Sino-Portuguese (sumber: Wikipedia). Macao sendiri merupakan pelabuhan dagang Portugis yang sangat vital di wilayah Asia Timur, namun seiring berakhirnya perjanjian tersebut Macao berubah menjadi destinasi wisata yang menawarkan sejarah, budaya, dan kuliner.
Karena berniat menghabiskan akhir minggu, saya hanya berkesempatan menjelajahi Macao selama sehari saja. Namun karena wilayahnya tidak terlalu besar dan pusat kegiatan berada di sekitar Ruin St. Paul, waktu sehari agak cukup untuk berkeliling di seputaran lokasi tersebut. Kebetulan ada promo salah satu maskapai budget rendah sehingga saya bisa mengajak istri dan si kecil kesana. Sejujurnya saya kepincut memaksakan diri pergi ke Macao karena tertarik untuk melihat langsung reruntuhan gereja St. Paul yang terkenal itu.
Bandara Macao sendiri tidak terlalu besar dan tidak seramai tetangganya Hong Kong sehingga pemeriksaan imigrasi berjalan dengan cepat. Macao menerapkan kebijakan bebas visa bagi warga Indonesia (hingga hari ini) sehingga saya tidak perlu repot mengurus visa ke kedubes Tiongkok. Uniknya lagi paspor kita tidap dicap sebagaimana lazimnya memasuki negara lain, tapi diberikan semacam tiket masuk yang dicetak saat pemeriksaan imigrasi.
Setelah menukar uang Dollar ke Pataca (mata uang resmi Macao), saya menuju pelabuhan dengan menumpang bis gratis yang disediakan para provider judi di Macao. Setelah sehari menyempatkan mampir ke negeri tetangga melalui ferry, saya kembali ke Macao untuk berkeliling kota. Kebetulan saat itu sedang ada pagelaran MotoGP dan bisa dilihat langsung dari pelabuhan sehingga tidak perlu bayar untuk sekedar duduk manis di podium. Sayang garis finisnya agak jauh jadi tak terlihat jelas siapa yang memenangkan MotoGP saat itu.
Saya memilih hotel yang dekat dengan Ruin St. Paul sehingga harganya agak mahal, sekitar satu jutaan semalam namun ukuran kamarnya besar dan nyaman untuk kami bertiga. Sebenarnya banyak hotel yang menawarkan harga lebih murah, kisaran 600 - 800 Ribuan, tetapi karena agak jauh apalagi membawa si kecil tentu agak repot harus naik turun bis kota atau taksi. Transportasi umum yang ada di Macao hanya bis kota dan taksi, serta bis gratis dari penyelenggara judi, mengingat kotanya kecil sehingga tidak feasible untuk membangun semacam MRT.
Agar terhindar dari ramainya wisatawan, saya sengaja bangun selepas subuh untuk berkeliling kota, mulai dari benteng Monte Fort yang terletak di atas bukit. Namun karena masih pagi benteng tutup dan hanya bisa mengelilingi pagar benteng. Tak jauh dari benteng tampak tegar reruntuhan bangunan gereja St. Paul yang habis terbakar tahun 1835. Suasana masih sepi sehingga bisa mengambil foto bangunan utuh tanpa terganggu para wisatawan lain. Setelah puas berfoto ria perjalanan dilanjutkan menuju Senado Square yang juga berjarak tak jauh dari situ.
Dari Senado Square perjalanan lanjut menuju Grand Lisboa yang menjadi salah satu icon judi ternama di Macao. Berhubung tidak jago main judi, saya hanya bisa melihat-lihat dari luar saja, kemudian jalan kaki lagi mengelilingi kota radius sekitar dua kilometer dari hotel. Setiba di hotel si kecil baru saja selesai mandi dibantu ibunya, dan kamipun kembali menuju Ruin St. Paul dengan mengajak si kecil. Walau terasa berat namun tak terasa lelah mendengar ocehan si kecil yang mulai bisa meracau di usia enam bulan. Sesekali terdengar rengekan karena posisinya mungkin kurang enak, namun secara umum lebih banyak diamnya daripada rewel.
Beruntung saya punya bayi yang anteng, tidak terlalu banyak rewel sehingga bisa leluasa jalan kaki tanpa gangguan berarti. Kondisi Ruin St. Paul mulai ramai pengunjung dan si kecilpun mulai bertingkah di depan kamera walau masih dalam gendongan ibunda. Kami bergantian menggendong si kecil karena kasihan kalau dipaksa jalan kaki. Dari Ruin St. Paul kami menuju Senado Square, dan tengah perjalanan sempat mampir sebentar ke toko suvenir untuk membeli oleh-oleh, tentunya tak lupa mencicipi Portuguese Egg Tart yang terkenal itu. Di sepanjang jalan menuju Senado Square banyak terdapat toko suvenir dan makanan khas, jadi agak bingung juga memilih mana yang paling murah harganya. Selain Pataca, kita juga bisa membayar dengan Dollar Hong Kong atau Yuan Tiongkok dengan nilai perbandingan dianggap sama.
Senado Square sendiri merupakan alun-alun kota Macao dan disekitarnya banyak berdiri bangunan tua yang dilindungi. Selain itu terdapat gereja Santo Domingo yang menggantikan St. Paul yang terbakar. Bentuknya mirip sekali dengan gereja St. Paul namun ukurannya lebih kecil dan rapat dengan bangunan lain di sekitarnya. Bangunan-bangunan tua tersebut memiliki nilai tinggi yang menceritakan kehadiran Portugis di masa lalu. Bahasa Portugis sendiri masih digunakan sebagai bahasa resmi disamping Inggris dan Tiongkok. Hampir di setiap petunjuk selalu ada ketiga bahasa tersebut mulai dari bandara hingga ke hotel.
Perjalanan berlanjut kembali ke arah Grand Lisboa melalui sebuah taman dimana terdapat pancuran air kecil yang dapat diminum langsung oleh warga. Kamipun mencoba meminum air tersebut dan si kecil tampak girang mengingat selama jalan tampak kehausan. Sepanjang perjalanan tampak suasananya rindang dan bersih serta nyaman untuk dilalui. Boleh dibilang tingkat kriminalitas di jalan kecil sehingga kita tidak perlu khawatir terjadi sesuatu di jalan. Boleh dibilang si kecil tetap anteng hingga tiba di hotel, padahal cukup berat juga menggendongnya sehingga harus bergantian karena kami tidak mau repot bawa stroller.
Tak terasa waktu mendekati zuhur, saatnya check out dari hotel menuju bandara untuk kembali ke tanah air. Saat buka popok bayi ternyata si kecil buang air besar sehingga harus dibersihkan dulu dan diganti popoknya. Selesai bersih-bersih kami berjalan kaki menuju jalan besar, menstop taksi menuju bandara, karena agak bingung membaca petunjuk bus. Bandara sendiri terletak di Pualu Taipa dan kita menyeberangi jembatan terpanjang dari semenanjung Macao ke pulau tersebut. Ada tiga jembatan panjang yang menghubungkan semenanjung dengan pulau Taipa, sementara selat antara pulau Taipa dengan pulau Coloane diurug menjadi daratan sehingga tak tampak lagi perbedaan antara kedua pulau tersebut.